Senin, 12 November 2012

Keangkuhan Spiritual ... !!!!

Pada tatanan spiritual, tidak jarang muncul keangkuhan bagi pemrakteknya yang biasa disebut orang sebagai kaum spiritualis. Dalam agama Islam, keangkuhan spiritual ini diwakili, misalnya, oleh kelompok-kelompok yang berbau tasawuf atau kesufian terhadap kelompok lainnya yang dikelompokkan orang sebagai kelompok syariat (non spiritualis). Kaum spiritualis umumnya sangat meremehkan kaum syariat yang mereka anggap sebagai kumpulan orang-orang yang tingkat pemahaman agamanya hanya terbatas pada penerapan hukum-hukum formal saja. Sehingga adakalanya sang spiritualis itu sangat meremehkan sekali syariat agama yang ada. Syariat dianggap mereka hanya untuk orang-orang yang belum mencapai tingkatan pendakian spiritual.


Bahkan sang spiritualis dengan mudahnya melanggar syariat itu sendiri seperti, dia mabuk-mabukan, suka perempuan lain yang bukan istrinya, dan sebagainya. Karena sang spiritualis sudah merasa bahwa sang aku dirinya adalah kebenaran itu sendiri. Apapun yang dia lakukan, maka dia menganggap bahwa hakekatnya semua itu adalah kebenaran. Dalam istilah umumnya suasana spiritualis seperti ini dinamakan orang dengan wilayah sufi yang sedang HELAF.


Pada taraf tertentu pun, terutama bagi spiritualis yang sudah bisa menjalankan kesadarannya atau fikirannya “menembus alam-alam imajinasi”, tidak jarang pula mereka malah melecehkan syariat itu sendiri. Misalnya mereka tidak lagi melakukan shalat. Karena dengan teknik perjalanan rohaninya, sang spiritualis merasa bahwa dirinya telah shalat di Mekkah, padahal saat itu dia masih berada di daerahnya sendiri. Dan biasanya sang spiritualis itu sebaliknya malah bisa dzikir (wirid) dalam waktu yang sangat lama.


Atau bisa juga sang spiritualis tetap menjalankan shalatnya, akan tetapi adakalanya dia dalam shalatnya itu mengalami apa yang disebutnya sebagai fana, dimana di tengah-tengah shalatnya sang spiritualis mengalami suasana perjalanan (moksa) menemui Tuhan. Sang spiritualis itu terjatuh ketika shalatnya dan keadaannya berada dalam suasana seperti pingsan. Keadaan seperti ini yang diyakini oleh pemrakteknya sebagai fana, dapat berlangsung lama. Dan begitu kesadarannya kembali, maka dianggap selesai pulalah shalatnya. Dan pemrakteknya meyakini bahwa inilah tingkatan shalat yang paling tinggi. Dulu, sewaktu menjalani suluk di sebuah tarekat, saya pernah sebentar terjebak dalam suasana seperti ini. Akan tetapi setelah dikelupasi kulitnya seperti ini, ternyata istilah MI’RAJ dalam pengertian seperti ini sama persis dengan MOKSA dalam istilah agama lain.


Tidak jarang pula ada spiritualis yang hanya asyik masyuk dengan Tuhannya. Sehingga setiap saat sang spiritualis dibuat sibuk dengan keasyik-masyukkannya dengan Tuhan itu. Dan biasanya sang aku diri yang seperti ini bawaannya malas-malasan, tidak mau bekerja, inginnya menyepi terus ke tempat-tempat sunyi. Sehingga fungsi kekhalifahannya sudah nyaris hilang sama sekali. Dia menjadi sibuk dengan dirinya sendiri.


MENGAMBIL PELAJARAN…!!



Pada lapisan kulit sang aku diri ini, semua agama dan praktek-praktek riyadah (olah jiwa) boleh jadi masih berada dalam wilayah yang sama, yaitu wilayah sang aku diri. Dapatlah dikatakan bahwa kulit terakhir yang tersisa dari usaha mengupas kulit bawang spiritual ini adalah sang aku diri.


Sekarang pertanyaannya adalah:

“Sudahkah spiritual itu berakhir hanya sampai dikulit terakhir ini…??”.

“Apakah spiritual itu berhenti dipengakuan sang aku diri (nafs)… ini ??”.



MELEPAS KULIT TERAKHIR, KETIADAAN, FANA…



Berada dalam jerat pengakuan sang aku diri ini, tanpa disadari, sangatlah menyibukkan dan bahkan sangat menyiksa, bagi orang yang tinggal di wilayah ini. Padahal kalau orang sudah berada dalam kesadaran sang aku diri ini, dimana orang tersebut tidak lagi terpengaruh dengan berbagai ragam dan perbedaan pemikiran, termasuk perbedaan pemahaman keagamaan, maka sebenarnya tinggal SELANGKAH saja lagi tugas sang aku diri itu. YaituPENGEMBALIAN keakuan sang aku diri itu kepada Sang Aku Yang Sebenarnya, yaitu Aku Allah. Ya…, sang aku diri tinggal tidak mengaku saja. Runtuhnya pengakuan sang aku diri inilah yang disebut sebagai FANA yang hakiki. Artinya..., dengan kerendahan hati:


  • Sang aku diri tidak lagi mengaku luas. Kembalikan luas itu pada Tuhan, karena hanya Tuhanlah Yang Maha Luas. Biarlah Yang Maha Luas itu sendiri yang mengaku Luas.

  • Sang aku diri tidak lagi mengaku melihat. Kembalikan melihat itu kepada Tuhan, karena hanya Tuhanlah Yang Maha Melihat. Biarlah Sang Maha melihat itu mengaku bahwa Dialah yang mengalirkan rasa melihat kepada sang diri (nafs).

  • Sang aku diri tidak mengaku mendengar. Kembalikan mendengar itu kepada Tuhan, karena hanya Tuhanlah Yang Maha Mendengar. Biarlah Sang Maha Mendengar itu mengaku bahwa Dialah yang mengalirkan rasa mendengar kepada sang diri (nafs).

  • Sang aku diri tidak mengaku tahu. Kembalikan tahu itu kepada Tuhan, karena hanya Tuhanlah Yang Maha Tahu. Biarlah Sang Maha Tahu itu mengaku bahwa Dialah yang mengalirkan rasa tahu melihat kepada sang diri (nafs).

Proses sang aku diri untuk tidak mengaku-ngaku inilah sebenarnya makna lain dari "laa ilaaha illallah".

Tiada yang luas kecuali Dia Yang Luas.

Tiada yang melihat kecuali Dia Yang Melihat.

Tiada yang mendengar kecuali Dia Yang Mendengar.

Tiada yang tahu kecuali Dia Yang Tahu.

Tiada apa-apa yang ada kecuali Dia Itu Yang Ada.


Posisi TIDAK MENGAKU seperti ini persis sama dengan posisi tumbuh-tumbuhan, posisi gunung-gunung, posisi matahari dan bintang-bintang, posisi langit dan bumi, posisi alam semesta, posisi malaikat. Semuanya tunduk dan patuh kepada Kehendak Tuhan. Semua bersikap sebagai hamba yang selalu RELA, RIDHA menerima kehendak dan kemauan dari Tuhan, dan Tuhan pun rela dan ridha berhendak dan berkemauan kepada sang Hamba itu…


“… Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar". (Al Maidah 119, dan dibeberapa ayat lainnya).


Suasana wilayah SALING RIDHA antara Hamba dengan Tuhannya inilah yang bisa disebut sebagai wilayah FANA yang hakiki…!!. Dan FANA seperti ini ternyata ADA SUASANANYA, ADA REALITASNYA. Jadi bukan hanya sebatas kata-kata, kalimat-kalimat dan definisi-definisi dari otak kita.


Disamping itu, proses pengembalian keakuan sang aku diri ini haruslah dilakukan dengan tanpa daya dan tanpa usaha kita sendiri..., karena tiada daya dan upaya, kecuali hanya daya dan upaya dari Tuhan. Pengembalian yang hakiki itu hanya dan hanya bisa kalau kita DITUNTUN oleh Allah sendiri. Karena yang tahu tentang Allah, hanya Allah itu sendiri. Makanya kita selalu berdo'a dalam shalat kita: "Ya Allah..., tuntun saya...". Dan yang paling penting untuk kita luruskan dalam kita berdo’a ketika minta dituntun oleh Allah adalah: kita jangan sekali-kali mengarahkan do’a itu kepada benda-benda, bentuk-bentuk, bayangan-bayangan, dan persepsi-persepsi apapun.


Kalau pengembalian itu masih dengan daya dan usaha dari sang aku diri, maka namanya sang aku diri itu masih ada, masih eksis. Dan sang aku diri itu akan tersiksa sekali, tatkala do’a kita tidak bersambut, yaaa…, seperti kita-kita sekarang ini. Sehingga apa saja bisa berubah menjadi siksa. Beda pendapat jadi siksa. Beda agama jadi siksa. Beda suku jadi siksa.


Begitu juga kalau pengembalian keakuan sang aku diri itu diarahkan kepada benda-benda atau alam-alam, artinya kita mengarah kepada yang BUKAN pencipta alam semesta sendiri, maka kita akan dibuat sibuk oleh Allah dengan segala sesuatu yang bersifat kealaman itu.


Sebaliknya saat mana sang aku diri itu "bersedia" dibimbing oleh Allah untuk tidak mengaku, dan posisi tidak mengaku itu berhasil dia raih, artinya sang aku diri sudah tiada, FANA, maka yang ada tinggal hanya Yang Ada, Yang WUJUD, yaitu Aku Yang Hakiki (Allah). Aku yang bening dan merdeka, artinya Aku yang berkehendak dengan sendirinya. Pada posisi seperti ini, sang aku diri benar-benar hanyalah menjadi seorang HAMBA yang bersedia:


  • Otaknya "dipakai" oleh Allah untuk berkreasi dan menciptakan peradaban bagi umat manusia…,

  • Dadanya "dipakai" oleh Allah untuk mengalirkan kehendak dan kemauan-Nya,

  • Kelaminnya "dipakai" oleh Allah untuk proses pembiakan umat manusia.

Dan...., lalu kita hanya tinggal menjadi SAKSI SAJA atas perbuatan Allah, atas kehendak Allah, atas kreasi Allah, atas grand design Allah dalam meramaikan dan menata alam ciptaan-Nya ini. Sungguh tidaklah sia-sia semua ini berada di dalam genggaman Allah. Semua diatur-Nya, semua di tata-Nya, semua diurus-Nya tanpa henti. Walau kita tidak mau mengakui peran-Nya sekali pun, Dia tidak peduli. Dia akan Maha Sibuk dengan segala ciptaan-Nya, karena memang segala ciptaan-Nya itu hanya bergantung kepada-Nya …


Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan (Ar Rahman 29).


Dan Rasulullah Muhammad SAW, dengan kualitas diri Beliau seperti ini, dimana “sang aku” Beliau, sudah lenyap, Rasulullah ternyata menghadap kepada Allah dengan tidak membawa apa-apa. Tidak membawa ilmu, tidak membawa amal, tidak membawa ibadah, tidak membawa tahu, tidak membawa melihat, tidak membawa mendengar. Beliau semata-mata hanya sebagai HAMBA yang mau menjadi ALAT ALLAH untuk menjadi RAHMAT bagi alam semesta, rahmat bagi segenap umat manusia. Dan peletakan dasar-dasar bagi fungsi rahmatan lil a’lamin itu itu berhasil Beliau bangun.


Hanya sayang…, bahwa generasi-generasi penerus Beliau ternyata banyak yang tidak amanah…!. Sehingga akibatnya sekarang Islam itu seperti dilecehkan oleh dunia. Kasihan Rasulullah….!!!.


Lalu apakah kita juga mau ikut-ikutan menjadi generasi yang tidak amanah itu…?, Lalu apakah kita juga mau mewariskan ketidakamanahan itu berestafet kepada anak cucu kita…???. Padahal banyak sudah pelajaran yang muncul dihadapan kita atas tidak amanahnya kita dan generasi-generasi terdahulu itu. Begitu nyata akibat buruknya…!!. Lalu kenapa akibat buruk itu tidak kita jadikan sebagai bahan pelajaran buat kita untuk merubahnya kembali menjadi baik…??. Betapa sombongnya kita ini dengan tidak mau menjadi penyambung tangan Rasulullah, penyambung lidah Rasullah.

Serat Sabdo Jati

Serat SABDO JATI.  RADEN Mas Ngabehi Ronggowarsito. Demikian nama salah seorang pujangga terkenal yang pernah menorehkan jejak gemilang dalam kesusastraan Jawa di abad 19. Namanya senantiasa dikenang sebagai pujangga besar yang karya-karyanya tetap abadi hingga kini.
Dari tangan pujangga asal Keraton Surakarta ini lahir berbagai karya sastra bermutu tinggi yang sarat nilai kemanusiaan. Buku-bukunya antara lain membahas falsafah, ilmu kebatinan, primbon, kisah raja, sejarah, lakon wayang, dongeng, syair, adat kesusilaan, dan sebagainya. Namun sebagian masyarakat Jawa, terutama rakyat jelata, sering mengidentikkan Ronggowarsito dengan karangan-karangan yang memadukan kesusastraan dengan ramalan yang penuh harapan, perenungan dan perjuangan.
Dilahirkan pada 15 Maret 1802 dengan nama asli Bagus Burham. Ayahnya seorang carik Kadipaten Anom yang bernama Raden Mas Pajangswara. Ibunya Raden Ayu Pajangswara merupakan keturunan ke-9 Sultan Trenggono dari Demak.
Bakat dan keahliannya dalam bidang kesusastraan semakin terasah dengan bimbingan kakeknya Raden Tumenggung Sastronegoro. Semenjak kecil, ia dibekali ajaran Islam dan pengetahuan yang bersandar pada ajaran kejawen, Hindu, Budha, serta ilmu kebatinan.
Karya-karya besarnya yang terkenal sampai saat ini adalah Serat Kalatidha yang berisi gambaran zaman penjajahan yang disebut “zaman edan”. Ada kitab Jaka Lodhang yang berisi ramalan akan datangnya zaman baik, serta Sabdatama yang berisi ramalan tentang sifat zaman makmur dan tingkah laku manusia yang tamak.Menjelang akhir hayatnya, Ronggowarsito menulis buku terakhir Sabdajati yang di antaranya berisi ramalan waktu kematiannya sendiri. Buku ini pun berisi ucapan perpisahan dan permohonan pamit karena Ki Pujangga akan segera meninggalkan dunia fana ini.
Pada 24 Desember 1873, pujangga besar dari tanah Jawa itu meninggal dunia dengan tenteram. Tempat peristirahatan terakhirnya terletak di Palar, sebuah desa kecil di wilayah Klaten-Jogjakarta. 
Hawya pegat ngudiya Ronging budyayu
Margane suka basuki
Dimen luwar kang kinayun
Kalising panggawe sisip
Ingkang taberi prihatos
Jangan berhenti selalulah berusaha berbuat kebajikan,
agar mendapat kegembiraan serta keselamatan serta tercapai segala cita-cita,
terhindar dari perbuatan yang bukan-bukan, caranya haruslah gemar prihatin.
Ulatna kang nganti bisane kepangguh
Galedehan kang sayekti
Talitinen awya kleru
Larasen sajroning ati
Tumanggap dimen tumanggon
Dalam hidup keprihatinan ini pandanglah dengan seksama,
intropeksi, telitilah jangan sampai salah, endapkan didalam hati, agar mudah menanggapi sesuatu.
Pamanggone aneng pangesthi rahayu
Angayomi ing tyas wening
Eninging ati kang suwung
Nanging sejatining isi
Isine cipta sayektos
Dapatnya demikian kalau senantiasa mendambakan kebaikan,
mengendapkan pikiran, dalam mawas diri sehingga seolah-olah hati ini kosong namun sebenarnya akan menemukan cipta yang sejati.
Lakonana klawan sabaraning kalbu
Lamun obah niniwasi
Kasusupan setan gundhul
Ambebidung nggawa kendhi
Isine rupiah kethon
Segalanya itu harus dijalankan dengan penuh kesabaran.
Sebab jika bergeser (dari hidup yang penuh kebajikan)
akan menderita kehancuran. Kemasukan setan gundul,
yang menggoda membawa kendi berisi uang banyak.
Lamun nganti korup mring panggawe dudu
Dadi panggonaning iblis
Mlebu mring alam pakewuh
Ewuh mring pananing ati
Temah wuru kabesturon
Bila terpengaruh akan perbuatan yang bukan-bukan,
sudah jelas akan menjadi sarang iblis, senantiasa mendapatkan kesulitas-kesulitan, kerepotan-kerepotan, tidak dapat berbuat dengan itikad hati yang baik,
seolah-olah mabuk kepayang.
Nora kengguh mring pamardi reh budyayu
Hayuning tyas sipat kuping
Kinepung panggawe rusuh
Lali pasihaning Gusti
Ginuntingan dening Hyang Manon
Bila sudah terlanjur demikian tidak tertarik terhadap perbuatan yang menuju kepada kebajikan. Segala yang baik-baik lari dari dirinya, sebab sudah diliputi perbuatan dan pikiran yang jelek.
Sudah melupakan Tuhannya. Ajaran-Nya sudah musnah berkeping-keping.
Parandene kabeh kang samya andulu
Ulap kalilipen wedhi
Akeh ingkang padha sujut
Kinira yen Jabaranil
Kautus dening Hyang Manon
Namun demikian yang melihat, bagaikan matanya kemasukan pasir, tidak dapat membedakan yang baik dan yang jahat, sehingga yang jahat disukai dianggap utusan Tuhan.
Yeng kang uning marang sejatining dawuh
Kewuhan sajroning ati
Yen tiniru ora urus
Uripe kaesi-esi
Yen niruwa dadi asor
Namun bagi yang bijaksana, sebenarnya repot didalam pikiran
melihat contoh-contoh tersebut. Bila diikuti hidupnya akan
tercela akhirnya menjadi sengsara.
Nora ngandel marang gaibing Hyang Agung
Anggelar sakalir-kalir
Kalamun temen tinemu
Kabegjane anekani
Kamurahane Hyang Manon
Itu artinya tidak percaya kepada Tuhan, yang menitahkan bumi dan langit, siapa yang berusaha dengan setekun-tekunnya akan mendapatkan kebahagiaan. Karena Tuhan itu Maha Pemurah adanya.
Hanuhoni kabeh kang duwe panuwun
Yen temen-temen sayekti
Dewa aparing pitulung
Nora kurang sandhang bukti
Saciptanira kelakon
Segala permintaan umatNya akan selalu diberi, bila dilakukan dengan setulus hati.
Tuhan akan selalu memberi pertolongan, sandang pangan tercukupi segala cita-cita dan kehendaknya tercapai.
Ki Pujangga nyambi paraweh pitutur
Saka pengunahing Widi
Ambuka warananipun
Aling-aling kang ngalingi
Angilang satemah katon
Sambil memberi petuah Ki Pujangga juga akan membuka selubung yang termasuk rahasia Tuhan, sehingga dapat diketahui.
Para jalma sajroning jaman pakewuh
Sudranira andadi
Rahurune saya ndarung
Keh tyas mirong murang margi
Kasekten wus nora katon
Manusia-manusia yang hidup didalam jaman kerepotan,
cenderung meningkatnya perbuatan-perbuatan tercela,
makin menjadi-jadi, banyak pikiran-pikiran yang tidak berjalan
diatas riil kebenaran, keagungan jiwa sudah tidak tampak.
Katuwane winawas dahat matrenyuh
Kenyaming sasmita sayekti
Sanityasa tyas malatkunt
Kongas welase kepati
Sulaking jaman prihatos
Lama kelamaan makin menimbulkan perasaan prihatin, merasakan ramalan tersebut,
senantiasa merenung diri melihat jaman penuh keprihatinan tersebut.
Waluyane benjang lamun ana wiku
Memuji ngesthi sawiji
Sabuk tebu lir majenum
Galibedan tudang tuding
Anacahken sakehing wong
Jaman yang repot itu akan selesai kelak bila sudah mencapat tahun 1877
(Wiku=7, Memuji=7, Ngesthi=8, Sawiji=1. Itu bertepatan dengan tahun Masehi 1945).
Ada orang yang berikat pinggang tebu perbuatannya seperti orang gila, hilir mudik menunjuk kian kemari, menghitung banyaknya orang.
Iku lagi sirap jaman Kala Bendu
Kala Suba kang gumanti
Wong cilik bisa gumuyu
Nora kurang sandhang bukti
Sedyane kabeh kelakon
Disitulah baru selesai Jaman Kala Bendu. Diganti dengan jaman Kala Suba.
Dimana diramalkan rakyat kecil bersuka ria, tidak kekurangan sandang dan makan seluruh kehendak dan cita-citanya tercapai.
Pandulune Ki Pujangga durung kemput
Mulur lir benang tinarik
Nanging kaseranging ngumur
Andungkap kasidan jati
Mulih mring jatining enggon
Sayang sekali “pengelihatan” Sang Pujangga belum sampai selesai, bagaikan menarik benang dari ikatannya.
Namun karena umur sudah tua sudah merasa hampir
datang saatnya meninggalkan dunia yang fana ini.
Amung kurang wolung ari kang kadulu
Tamating pati patitis
Wus katon neng lokil makpul
Angumpul ing madya ari
Amerengi Sri Budha Pon
Yang terlihat hanya kurang 8 hari lagi, sudah sampai waktunya, kembali menghadap Tuhannya. Tepatnya pada hari Rabu Pon.
Tanggal kaping lima antarane luhur
Selaning tahun Jimakir
Taluhu marjayeng janggur
Sengara winduning pati
Netepi ngumpul sak enggon
Tanggal 5 bulan Sela
(Dulkangidah) tahun Jimakir Wuku Tolu,
Windu Sengara (atau tanggal 24 Desember 1873)
kira-kira waktu Lohor, itulah saat yang ditentukan
sang Pujangga kembali menghadap Tuhan.
Cinitra ri budha kaping wolulikur
Sawal ing tahun Jimakir
Candraning warsa pinetung
Sembah mekswa pejangga ji
Ki Pujangga pamit layoti
Karya ini ditulis dihari Rabu tanggal 28 Sawal tahun Jim, akhir 1802.
(Sembah=2, Muswa=0, Pujangga=8, Ji=1) bertepatan dengan tahun masehi 1873)

Pengobatan, Pemagaran Ghoib, Pelarisan, Mahabah, Konsultasi Keilmuan, Konsultasi Usaha, Dan Konsultasi Spiritual Lainnya. Hubungi HP: 082375722650 / 081929341703 atau Email Kami: putro.gendroyono@gmail.com Catatan : Konsultasi Yang Kami Berikan Tidak Mematok Harga, Seikhlasnya, Kami Hanya Membantu Semoga Berhasil, Ini Kami Tulis Banyaknya Saudara Yang Menanyakan Tentang Mahar , Terima Kasih atas Perhatiannya. Nuwun.

Kami sangat menyadari banyak sekali kekurangannya di dalam memberikan pelayanan kepada saudara semua , Sering terlambat membalas Email dan merahasiakan No.telp , sebenarnya tidak ada masalah hanya kesibukan kami yang sangat membatasinya . Di forum blog ini sekali lagi saya memohon maaf atas ketidak nyamanan pelayanan kami ,tetapi semua Email yang masuk ke : putro.gendroyono@gmail.com seberapa banyakpun Insya Allah kami selesaikan dengan baik , dan kami juga meminta maaf sekiranya ada ketidakpuasan dalam pelayanan ini.
Forum kami adalah Forum konsultasi spiritual yang sifatnya memberikan pelayanan spiritual dan supranatural tetapi dengan pelayanan yang maksimal sesuai kemampuan kami.Selain Konsultasi spiritual dan Supranatural di dalam Pengobatan kami biasanya memberikan ramuan - ramuan untuk membantu pengobatan , banyak sekali permintaan yang ingin kami menyediaakan Ramuan agar mudah dan segera dapat di gunakan . atau ramuan lainnya yang dapat saudara dapatkan dengan menghubungi lewat Email di atas ,Maaf kami sengaja hanya menggunakan Email , silahkan menulis keluhan saudara dan kami akan menyiapkannya dan memberikan pengobatan jarak jauh , Untuk yang berdomisili di Surabaya dan sekitarnya silahkan datang langsung ke tempat kami . Demikianlah atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih , Wassalam .

KULIT SANG AKU DIRI…!!



Pada jiwa yang tenang (universal) itu ternyata tetap saja masih “ada yang tahu”, yang sadar, bahwa diri itu sudah berada dalam wilayah ketenangan, bahwa diri itu sangat luas. Diri itu juga tahu bahwa yang melihat itu ternyata bukan mata, tetapi diri yang luas itu sendiri. Diri itu juga sadar bahwa yang mendengar itu ternyata bukan telinga, tetapi diri yang luas itu sendirilah yang mendengar. Jadi pada diri yang universal ini ada bentukpengakuan, dimana pengakuan ini ternyata adalah rahmat yang diberikan oleh Allah buat semua manusia. Ya…, pada diri yang universal itu ada “aku”, yaitu sang aku diri”. Dan sang aku diri inilah yang mengaku-ngaku, bahwa aku ini luas tak terbatas, aku ini damai, aku ini melihat, aku ini mendengar, aku ini tahu. Dan puncak dari pengakuan itu adalah: ”aku ini ada (exist) … !!!!”.


Karena merasa ada (exist), maka sang aku diri itu lalu punya keinginan…!.


Keinginan itu yang sangat dominan diantaranya adalah:


1. Sang aku diri ingin” meninggalkan realitas ketubuhannya (MOKSA).


Pada keinginan seperti ini, sang aku diri ini merasa bahwa tubuhnya ternyata adalah unsur yang penuh dengan suasana yang tidak menyenangkan, sehingga sang aku diri ingin lepas dari tarikan sifat-sifat ketubuhannya. Lalu sang aku diri ini ingin lari dari realitas ketubuhannya menuju, misalnya, ke syurga. Karena sang aku diri ingin lari ke syurga, maka tidak jarang bayangan syurga itu seperti benar-benar datang menghampirinya. Padahal gambaran perjalanan ke syurga itu hanyalah sekedar memori-memori tentang syurga yang telah duluan bersarang di otak sang aku diri itu. Karena gambaran dan realitas tentang syurga itu hanya Allah dan Rasulnya sajalah yang tahu.


Begitu juga saat sang aku diri "ingin" bertemu dengan para malaikat, para nabi-nabi, dan orang-orang shaleh lainnya, maka semua wujud yang ingin ditemuinya itu akan datang silih berganti menjambanginya. Dan anehnya kualitas pertemuan itu kadangkala lebih hebat dan lebih spektakuler dibandingkan dengan cerita-cerita yang pernah ada.


Tak jarang dari pertemuan-pertemuan imajiner itu sang aku diri merasa bahwa dirinya diangkat oleh malaikat menjadi Nabi baru, menjadi utusan Tuhan yang suci di zamannya. Menjadi orang-orang yang terpilih. Dan kesemuanya itu seperti benar-benar terjadi, REAL, NYATA. Dan untuk lebih meyakinkan lagi, maka anehnya sang aku diri itu seperti mempunyai berbagai kelebihan yang mencengangkan pula.


Lalu sang aku diri itu menjadi sibuk dengan berbagai pandangan-pandangan, kalimat-kalimat, huruf-huruf, suara-suara, dan pertemuan-pertemuan dengan apa yang diinginkan oleh sang aku diri itu tadi. Pertemuan yang seperti apapun dengan siapa pun dan sesulit apapun seperti bisa terjadi dengan mudahnya. Lalu jadilah sang aku diri itu menjadi sangat sibuk….!!!.


2. Sang aku diri “ingin” bertemu dengan Tuhannya...!


Pada tingkat yang lebih rumit, sang aku diri itu ada pula yang "INGIN" bertemu dengan Tuhannya. Lalu sang aku diri itu berusaha pula melakukan perjalanan MI’RAJ (MOKSA) seperti yang disebutkan dalam uraian di atas. Akan tetapi ternyata realitas Tuhan tidak akan pernah bisa diketahui dengan kualitas MI’RAJ seperti itu. Kemana pun sang aku diri itu menghadap, yang ditemukannya tetap saja suasana luas tak terhingga dan tidak ada apa-apanya. KOSONG. Lalu sang aku diri itu merasa bahwa hanya dirinyalah yang ada. Hanya aku yang ada….!!!, dan aku diri itu lalu “merasa” menjadi Aku Yang Hakiki (Allah).


Dengan suasana seperti ini, maka kemudian muncullah pemahaman yang mengarah pada konsep dua menjadi satu. Adakalanya, sang aku diri merasa BERSATU dengan Sang Aku Hakiki (Allah). Adakalanya juga sang aku diri itu merasa bahwa Tuhan beremanasi, menjelma kedalam dirinya. Ya…, “sang aku diri” lalu merasa menjadi “Aku”…!!!, dan mulai ia mengaku : “Aku adalah Dia, Dia adalah Aku; Aku adalah kebenaran…, Ana Allah…, Maha Suci Aku…, dan berbagai pengakuan lainnya”.


Dan pengakuan pada wilayah kulit sang aku diri ini, apalagi bagi yang sampai masuk ke dalam suasana penuh keinginan seperti diatas, ternyata sangatlah menyiksa. Pengakuan di wilayah ini malah bisa melahirkan keangkuhan baru bagi kita, sebuah keangkuhan spiritual.

Puncak Ilmu Kejawen

Puncak Ilmu Kejawen
Ilmu “Sastra Jendra hayuningrat Pangruwating Diyu” adalah puncak Ilmu Kejawen. “Sastra Jendra hayuningrat Pangruwating Diyu” artinya; wejangan berupa mantra sakti untuk keselamatan dari unsur-unsur kejahatan di dunia. Wejangan atau mantra tersebut dapat digunakan untuk membangkitkan gaib “Sedulur Papat” yang kemudian diikuti bangkitnya saudara “Pancer” atau sukma sejati, sehingga orang yang mendapat wejangan itu akan mendapat kesempurnaan. Secara harfiah arti dari “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” adalah sebagai berikut; Serat = ajaran, Sastrajendra = Ilmu mengenai raja. Hayuningrat = Kedamaian. Pangruwating = Memuliakan atau merubah menjadi baik. Diyu = raksasa atau lambang keburukan. Raja disini bukan harfiah raja melainkan sifat yang harus dimiliki seorang manusia mampu menguasai hawa nafsu dan pancainderanya dari kejahatan. Seorang raja harus mampu menolak atau merubah keburukan menjadi kebaikan.Pengertiannya; bahwa Serat Sastrajendra Hayuningrat adalah ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki manusia untuk merubah keburukan mencapai kemuliaan dunia akhirat. Ilmu Sastrajendra adalah ilmu makrifat yang menekankan sifat amar ma’ruf nahi munkar, sifat memimpin dengan amanah dan mau berkorban demi kepentingan rakyat.
Asal-usul Sastra Jendra dan Filosofinya
          Menurut para ahli sejarah, kalimat “Sastra Jendra” tidak pernah terdapat dalam kepustakaan Jawa Kuno.  Tetapi baru terdapat pada abad ke 19 atau tepatnya 1820. Naskah dapat ditemukan dalam tulisan karya Kyai Yasadipura dan Kyai Sindusastra dalam lakon Arjuno Sastra atau Lokapala. Kutipan diambil dari kitab Arjuna Wijaya pupuh Sinom pada halaman 26;
        Selain daripada itu, sungguh heran bahwa tidak seperti permintaan anak saya wanita ini, yakni barang siapa dapat memenuhi permintaan menjabarkan “Sastra Jendra hayuningrat” sebagai ilmu rahasia dunia (esoterism) yang dirahasiakan oleh Sang Hyang Jagad Pratingkah. Dimana tidak boleh seorangpun mengucapkannya karena mendapat laknat dari Dewa Agung walaupun para pandita yang sudah bertapa dan menyepi di gunung sekalipun, kecuali kalau pandita mumpuni. Saya akan berterus terang kepada dinda Prabu, apa yang menjadi permintaan putri paduka. Adapun yang disebut Sastra Jendra Yu Ningrat adalah pangruwat segala segala sesuatu, yang dahulu kala disebut sebagai ilmu pengetahuan yang tiada duanya, sudah tercakup ke dalam kitab suci (ilmu luhung = Sastra). Sastra Jendra itu juga sebagai muara atau akhir dari segala pengetahuan. Raksasa dan Diyu, bahkan juga binatang yang berada dihutan belantara sekalipun kalau mengetahui arti Sastra Jendra akan diruwat oleh Batara, matinya nanti akan sempurna, nyawanya akan berkumpul kembali dengan manusia yang “linuwih” (mumpuni), sedang kalau manusia yang mengetahui arti dari Sastra Jendra nyawanya akan berkumpul dengan para Dewa yang mulia…
        Ajaran “Sastra Jendra hayuningrat Pangruwating Diyu” mengandung isi yang mistik, angker gaib, kalau salah menggunakan ajaran ini bisa mendapat malapetaka yang besar. Seperti pernah diungkap oleh Ki Dalang Narto Sabdo dalam lakon wayang Lahirnya Dasamuka. Kisah ceritanya sebagai berikut;
Begawan Wisrawa mempunyai seorang anak bernama Prabu Donorejo, yang ingin mengawini seorang istri bernama Dewi Sukesi yang syaratnya sangat berat, yakni;
  1. Bisa mengalahkan paman Dewi Sukesi, yaitu Jambu Mangli, seorang raksasa yang sangat sakti.
  2. Bisa menjabarkan ilmu “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu”
Prabu Donorejo tidak dapat melaksanakan maka minta bantuan ayahandanya, Begawan Wisrawa yang ternyata dapat memenuhi dua syarat tersebut. Maka Dewi Sukesi dapat diboyong Begawan Wisrawa, untuk diserahkan kepada anaknya Prabu Donorejo.
        Selama perjalanan membawa pulang Dewi Sukesi, Begawan Wisrawa jatuh hati kepada Dewi Sukesi demikian juga Dewi Sukesi hatinya terpikat kepada Begawan Wisrawa.
“Jroning peteng kang ono mung lali, jroning lali gampang nindakake kridaning priyo wanito,” kisah Ki Dalang.
        Begawan Wisrawa telah melanggar ngelmu “Sastra Jendra”, beliau tidak kuat menahan nafsu seks dengan Dewi Sukesi. Akibat dari dosa-dosanya maka lahirlah anak yang bukan manusia tetapi berupa raksasa yang menakutkan, yakni;
  1. Dosomuko
  2. Kumbokarno
  3. Sarpokenoko
  4. Gunawan Wibisono
Setelah anak pertama lahir, Begawan Wisrawa mengakui akan kesalahannya, sebagai penebus dosanya beliau bertapa atau tirakat tidak henti-hentinya siang malam. Berkat gentur tapanya, maka lahir anak kedua, ketiga dan keempat yang semakin sempurna.Laku Begawan Wisrawa yang banyak tirakat serta doa yang tiada hentinya, akhirnya Begawan Wisrawa punya anak-anak yang semakin sempurna ini menjadi simbol bahwa untuk mencapai Tuhan harus melalui empat tahapan yakni; Syariat, Tarikat, Hakekat, Makrifat.
Lakon ini mengingatkan kita bahwa untuk mengenal diri pribadinya, manusia harus melalui tahap atau tataran-tataran yakni;
1.            Syariat; dalam falsafah Jawa syariat memiliki makna sepadan dengan Sembah Rogo.
2.            Tarikat; dalam falsafah Jawa maknanya adalah Sembah Kalbu.
3.            Hakikat; dimaknai sebagai Sembah Jiwa atau ruh (ruhullah).
4.            Makrifat; merupakan tataran tertinggi yakni Sembah Rasa atau sir (sirullah).
Pun diceritakan dalam kisah Dewa Ruci, di mana diceritakan perjalanan Bima (mahluk Tuhan) mencari “air kehidupan” yakni sejatinya hidup. Air kehidupan atautirta maya, dalam bahasa Arab disebut sajaratul makrifat. Bima harus melalui berbagai rintangan baru kemudia bertemu dengan Dewa Ruci (Dzat Tuhan) untuk mendapatkan “ngelmu”.
Bima yang tidak lain adalah Wrekudara/AryaBima, masuk tubuh Dewa Ruci menerima ajaran tentang Kenyataan “Segeralah kemari Wrekudara, masuklah ke dalam tubuhku”, kata Dewa Ruci. Sambil tertawa Bima bertanya :”Tuan ini bertubuh kecil, saya bertubuh besar, dari mana jalanku masuk, kelingking pun tidak mungkin masuk”. Dewa Ruci tersenyum dan berkata lirih:”besar mana dirimu dengan dunia ini, semua isi dunia, hutan dengan gunung, samudera dengan semua isinya, tak sarat masuk ke dalam tubuhku”.
Atas petunjuk Dewa Ruci, Bima masuk ke dalam tubuhnya melalui telinga kiri.
Dan tampaklah laut luas tanpa tepi, langit luas, tak tahu mana utara dan selatan, tidak tahu timur dan barat, bawah dan atas, depan dan belakang. Kemudian, terang, tampaklah Dewa Ruci, memancarkan sinar, dan diketahui lah arah, lalu matahari, nyaman rasa hati.
Ada empat macam benda yang tampak oleh Bima, yaitu hitam, merah kuning dan putih. Lalu berkatalah Dewa Ruci:”Yang pertama kau lihat cahaya, menyala tidak tahu namanya, Pancamaya itu, sesungguhnya ada di dalam hatimu, yang memimpin dirimu, maksudnya hati, disebut muka sifat, yang menuntun kepada sifat lebih, merupakan hakikat sifat itu sendiri. Lekas pulang jangan berjalan, selidikilah rupa itu jangan ragu, untuk hati tinggal, mata hati itulah, menandai pada hakikatmu, sedangkan yang berwarna merah, hitam, kuning dan putih, itu adalah penghalang hati. 
Yang hitam kerjanya marah terhadap segala hal, murka, yang menghalangi dan menutupi tindakan yang baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang baik, segala keinginan keluar dari situ, panas hati, menutupi hati yang sadar kepada kewaspadaan. Yang kuning hanya suka merusak. Sedangkan yang putih berarti nyata, hati yang tenang suci tanpa berpikiran ini dan itu, perwira dalam kedamaian. Sehingga hitam, merah dan kuning adalah penghalang pikiran dan kehendak yang abadi, persatuan Suksma Mulia.
Lalu Bima melihat, cahaya memancar berkilat, berpelangi melengkung, bentuk zat yang dicari, apakah gerangan itu ?! Menurut Dewa Ruci, itu bukan yang dicari (air suci), yang dilihat itu yang tampak berkilat cahayanya, memancar bernyala-nyala, yang menguasai segala hal, tanpa bentuk dan tanpa warna, tidak berwujud dan tidak tampak, tanpa tempat tinggal, hanya terdapat pada orang-orang yang awas, hanya berupa firasat di dunia ini, dipegang tidak dapat, adalah Pramana, yang menyatu dengan diri tetapi tidak ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat tinggal di tubuh, tidak ikut makan dan minum, tidak ikut merasakan sakit dan menderita, jika berpisah dari tempatnya, raga yang tinggal, badan tanpa daya. Itulah yang mampu merasakan penderitaannya, dihidupi oleh suksma, ialah yang berhak menikmati hidup, mengakui rahasia zat.
Kehidupan Pramana dihidupi oleh suksma yang menguasai segalanya, Pramana bila mati ikut lesu, namun bila hilang, kehidupan suksma ada. Sirna itulah yang ditemui, kehidupan suksma yang sesungguhnya, Pramana Anresandani.
Jika ingin mempelajari dan sudah didapatkan, jangan punya kegemaran, bersungguh-sungguh dan waspada dalam segala tingkah laku, jangan bicara gaduh, jangan bicarakan hal ini secara sembunyi-sembunyi, tapi lekaslah mengalah jika berselisih, jangan memanjakan diri, jangan lekat dengan nafsu kehidupan tapi kuasailah.
Tentang keinginan untuk mati agar tidak mengantuk dan tidak lapar, tidak mengalami hambatan dan kesulitan, tidak sakit, hanya enak dan bermanfaat, peganglah dalam pemusatan pikiran, disimpan dalam buana, keberadaannya melekat pada diri, menyatu padu dan sudah menjadi kawan akrab.
Sedangkan Suksma Sejati, ada pada diri manusia, tak dapat dipisahkan, tak berbeda dengan kedatangannya waktu dahulu, menyatu dengan kesejahteraan dunia, mendapat anugerah yang benar, persatuan manusia/kawula dan pencipta/Gusti. Manusia bagaikan wayang, Dalang yang memainkan segala gerak gerik dan berkuasa antara perpaduan kehendak, dunia merupakan panggungnya, layar yang digunakan untuk memainkan panggungnya.
Bila seseorang mempelajari “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” berarti harus pula mengenal asal usul manusia dan dunia seisinya, dan haruslah dapat menguraikan tentang sejatining urip (hidup), sejatining Panembah (pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa), sampurnaning pati (kesempurnaan dalam kematian), yang secara gamblang disebut juga innalillahi wainna illaihi rojiuun, kembali ke sisi Tuhan YME dengan tata cara hidup layak untuk mencapai budi suci dan menguasai panca indera serta hawa nafsu untuk mendapatkan tuntunan Sang Guru Sejati.
Uraian tersebut dapat menjelaskan bahwa sasaran utama mengetahui “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” adalah untuk mencapai Kasampurnaning Pati, dalam istilah RNg Ronggowarsito disebut Kasidaning Parasadya atau pati prasida, bukan sekedar pati patitis atau pati pitaka. “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” seolah menjadi jalan tol menuju pati prasida.
Bagi mereka yang mengamalkan “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” dapat memetik manfaatnya berupa Pralampita atau ilham atau wangsit (wahyu) atau berupa “senjata” yang berupa rapal. Dengan rapal atau mantra orang akan memahami isi Endra Loka, yakni pintu gerbang rasa sejati, yang nilainya sama dengan sejatinya Dzat YME dan bersifat gaib. Manusia mempunyai tugas berat dalam mencari Tuhannya kemudian menyatukan diri ke dalam gelombang Dzat Yang Maha Kuasa. Ini diistilahkan sebagai wujud jumbuhing/manunggaling kawula lan Gusti, atau warangka manjing curiga. Tampak dalam kisah Dewa Ruci, pada saat bertemunya Bima dengan Dewa Ruci sebagai lambang Tuhan YME. Saat itu pula Bima menemukan segala sesuatu di dalam dirinya sendiri.
Itulah inti sari dari “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” sebagai Pungkas-pungkasaning Kawruh. Artinya, ujung dari segala ilmu pengetahuan atau tingkat setinggi-tingginya ilmu yang dapat dicapai oleh manusia atau seorang sufi. Karena ilmu yang diperoleh dari makrifat ini lebih tinggi mutunya dari pada ilmu pengetahuan yang dapat dicapai dengan akal.
Dalam dunia pewayangan lakon “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” dimaksudkan untuk lambang membabarkan wejangan sedulur papat lima pancer. Yang menjadi tokoh atau pelaku utama dalam lakon ini adalah sbb;
Begawan Wisrawa menjadi lambang guru yang memberi wejangan ngelmu Sastrajendra kepada Dewi Sukesi. Ramawijaya sebagai penjelmaan Wisnu  (Kayun; Yang Hidup), yang memberi pengaruh kebaikan terhadap Gunawan Wibisono (nafsul mutmainah), Keduanya sebagai lambang dari wujud jiwa dan sukma yang disebut Pancer. Karena wejangan yang diberikan oleh Begawan Wisrawa kepada Dewi Sukesi ini bersifat sakral yang tidak semua orang boleh menerima, maka akhirnya mendapat kutukan Dewa kepada anak-anaknya.
  1. Dasamuka (raksasa) yang mempunyai perangai jahat, bengis, angkara murka, sebagai simbol dari nafsu amarah.
  2. Kumbakarna (raksasa) yang mempunyai karakter raksasa yakni bodoh, tetapi setia, namun memiliki sifat pemarah. Karakter kesetiannya membawanya pada watak kesatria yang tidak setuju dengan sifat kakaknya Dasamuka. Kumbakarno menjadi lambang dari nafsu lauwamah.
  3. Sarpokenoko (raksasa setengah manusia) memiliki karakter suka pada segala sesuatu yang enak-enak, rasa benar yang sangat besar, tetapi ia sakti dan suka bertapa. Ia menjadi simbol nafsu supiyah.
  4. Gunawan Wibisono (manusia seutuhnya); sebagai anak bungsu yang mempunyai sifat yang sangat berbeda dengan semua kakaknya. Dia meninggalkan saudara-saudaranya yang dia anggap salah dan mengabdi kepada Romo untuk membela kebenaran. Ia menjadi perlambang dari nafsul mutmainah.
Gambaran ilmu ini adalah mampu merubah raksasa menjadi manusia. Dalam pewayangan, raksasa digambarkan sebagai mahluk yang tidak sesempurna manusia. Misal kisah prabu Salya yang malu karena memiliki ayah mertua seorang raksasa. Raden Sumantri atau dikenal dengan nama Patih Suwanda memiliki adik raksasa bajang bernama Sukrasana. Dewi Arimbi, istri Werkudara harus dirias sedemikian rupa oleh Dewi Kunti agar Werkudara mau menerima menjadi isterinya. Betari Uma disumpah menjadi raksesi oleh Betara Guru saat menolak melakukan perbuatan kurang sopan dengan Dewi Uma pada waktu yang tidak tepat. Anak hasil hubungan Betari Uma dengan Betara Guru lahir sebagai raksasa sakti mandra guna dengan nama “ Betara Kala “ (kala berarti keburukan atau kejahatan). Sedangkan Betari Uma kemudian bergelar Betari Durga menjadi pengayom kejahatan dan kenistaan di muka bumi memiliki tempat tersendiri yang disebut “ Kayangan Setragandamayit “. Wujud Betari Durga adalah raseksi yang memiliki taring dan gemar membantu terwujudnya kejahatan.
Melalui ilmu Sastrajendra maka simbol sifat sifat keburukan raksasa yang masih dimiliki manusia akan menjadi dirubah menjadi sifat sifat manusia yang berbudi luhur. Karena melalui sifat manusia ini kesempurnaan akal budi dan daya keruhanian mahluk ciptaan Tuhan diwujudkan. Dalam kitab suci disebutkan bahwa manusia adalah ciptaan paling sempurna. Bahkan ada disebutkan, Tuhan menciptakan manusia berdasar gambaran dzat-Nya. Filosof Timur Tengah Al Ghazali menyebutkan bahwa manusia seperti Tuhan kecil sehingga Tuhan sendiri memerintahkan para malaikat untuk bersujud. Sekalipun manusia terbuat dari dzat hara berbeda dengan jin atau malaikat yang diciptakan dari unsur api dan cahaya. Namun manusia memiliki sifat sifat yang mampu menjadi “ khalifah “ (wakil Tuhan di dunia).
Namun ilmu ini oleh para dewata hanya dipercayakan kepada Wisrawa seorang satria berwatak wiku yang tergolong kaum cerdik pandai dan sakti mandraguna untuk mendapat anugerah rahasia Serat Sastrajendrahayuningrat  Diyu.
Ketekunan, ketulusan dan kesabaran Begawan Wisrawa menarik perhatian dewata sehingga memberikan amanah untuk menyebarkan manfaat ajaran tersebut. Sifat ketekunan Wisrawa, keihlasan, kemampuan membaca makna di balik sesuatu yang lahir dan kegemaran berbagi ilmu. Sebelum “ madeg pandita “ ( menjadi wiku ) Wisrawa telah lengser keprabon menyerahkan tahta kerajaaan kepada sang putra Prabu Danaraja. Sejak itu sang wiku gemar bertapa mengurai kebijaksanaan dan memperbanyak ibadah menahan nafsu duniawi untuk memperoleh kelezatan ukhrawi nantinya. Kebiasaan ini membuat sang wiku tidak saja dicintai sesama namun juga para dewata.
Sifat Manusia Terpilih
Sebelum memutuskan siapa manusia yang berhak menerima anugerah Sastra Jendra, para dewata bertanya pada sang Betara Guru. “ Duh, sang Betara agung, siapa yang akan menerima Sastra Jendra, kalau boleh kami mengetahuinya. “Bethara guru menjawab “ Pilihanku adalah anak kita Wisrawa “. Serentak para dewata bertanya “ Apakah paduka tidak mengetahui akan terjadi bencana bila diserahkan pada manusia yang tidak mampu mengendalikannya. Bukankah sudah banyak kejadian yang bisa menjadi pelajaran bagi kita semua”
Kemudian sebagian dewata berkata “ Kenapa tidak diturunkan kepada kita saja yang lebih mulia dibanding manusia “.
Seolah menegur para dewata sang Betara Guru menjawab “Hee para dewata, akupun mengetahui hal itu, namun sudah menjadi takdir Tuhan Yang Maha Kuasa bahwa ilmu rahasia hidup justru diserahkan pada manusia. Bukankah tertulis dalam kitab suci, bahwa malaikat mempertanyakan pada Tuhan mengapa manusia yang dijadikan khalifah padahal mereka ini suka menumpahkan darah“. Serentak para dewata menunduk malu “ Paduka lebih mengetahui apa yang tidak kami ketahui”. Kemudian, Betara Guru turun ke mayapada didampingi Betara Narada memberikan Serat Sastra Jendra kepada Begawan Wisrawa.
“ Duh anak Begawan Wisrawa, ketahuilah bahwa para dewata memutuskan memberi amanah Serat Sastra Jendra kepadamu untuk diajarkan kepada umat manusia”
Mendengar hal itu, menangislah Sang Begawan “ Ampun, sang Betara agung, bagaimana mungkin saya yang hina dan lemah ini mampu menerima anugerah ini “.
Betara Narada mengatakan “ Anak Begawan Wisrawa, sifat ilmu ada 2 (dua). Pertama, harus diamalkan dengan niat tulus. Kedua, ilmu memiliki sifat menjaga dan menjunjung martabat manusia. Ketiga, jangan melihat baik buruk penampilan semata karena terkadang yang baik nampak buruk dan yang buruk kelihatan sebagai sesuatu yang baik. “ Selesai menurunkan ilmu tersebut, kedua dewata kembali ke kayangan.
Setelah menerima anugerah Sastrajendra maka sejak saat itu berbondong bondong seluruh satria, pendeta, cerdik pandai mendatangi beliau untuk minta diberi wejangan ajaran tersebut. Mereka berebut mendatangi pertapaan Begawan Wisrawa melamar menjadi cantrik untuk mendapat sedikit ilmu Sastra Jendra. Tidak sedikit yang pulang dengan kecewa karena tidak mampu memperoleh ajaran yang tidak sembarang orang mampu menerimanya. Para wiku, sarjana, satria harus menerima kenyataan bahwa hanya orang-orang yang siap dan terpilih mampu menerima ajarannya.
        Demikian lah pemaparan tentang puncak ilmu kejawen yang adiluhung, tidak bersifat primordial, tetapi bersifat universal, berlaku bagi seluruh umat manusia di muka bumi, manusia sebagai mahluk ciptaan Gusti Kang Maha Wisesa, Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang Maha Tunggal. Janganlah terjebak pada simbol-simbol atau istilah yang digunakan dalam tulisan ini. Namun ambilah hikmah, hakikat, nilai yang bersifat metafisis dan universe dari ajaran-ajaran di atas. Semoga bermanfaat.
Semoga para pembaca yang budiman diantara orang-orang yang terpilih dan pinilih untuk meraih ilmu sejatinya hidup.