Cerita Dewa Ruci diduga -menurut Prof. Dr. RM. Ng Purbotjaroko dan Dr.
Stutterheim- ditulis kira-kira pada masa peralihan agama, atau pada awal
tersebarnya Islam di Tanah Jawa. Cerita aslinya, yang dianggap
Babon-nya, dinisbahkan kepada Mpu Ciwamurti. Tetapi naskah-naskah
kemudian dihubungkan kepada Ajisaka, yang konon menjadi murid Maulana
Ngusman Ngali, seorang penyebar agama Islam. Pada tangan Sunan Bonang,
Serat Dewa Ruci yang asli itu diterjemahkan dari Bahasa Kawi ke dalam
bahasa Jawa Modern. Terjemahan ini tersimpan di perpustakaan pribadi
R.Ng.Ronggowarsito.
Orang hanya dapat memahami Dewa Ruci bila ia memiliki latar belakang
ilmu tasawuf, dengan merujuk paling tidak pada karya-karya Al-Ghazali
dan Ibn Arabi. Walaupun Prof. Dr. Ng. Purbotjaroko mengatakan bahwa
nilai sastra dewa Ruci itu tidak besar dan nilainya sebagai buku tasawuf
juga tidak begitu penting, bagi kebanyakan orang Jawa, terutama
“angkatan tua”, ia dianggap sebagai sumber pokok ajaran Kejawen, sebagai rujukan untuk “ilmu kasampurnan” .
Dalam Cerita Dewa Ruci, sebenarnya tasawuf disampaikan dengan
menggunakan “bahasa” orang Jawa. Secara hermeneutik, jika kita membaca
Cerita Dewa Ruci dengan Vorverstandnis (preunderstanding) sastra modern,
kita akan mengatakannya seperti Prof. Dr. Ng. Purbotjaroko.Tetapi bila
preunderstanding kita itu dilandasi pada literatur sufi,
kita akan melihatnya sangat sufistik.Sudah lazim dalam literatur sufi,
para sufi mengajar lewat ceritra. Cerita itu diambil dari khazanah
budaya bangsa yang dihadapi para sufi itu.
Lihatlah, bagaimana Sa’di, Rumi, dan Hafez mengambil banyak cerita dari
khazanah Persia untuk mengajarkan tasawuf.R. Ng. Ronggowarsito, yang
sempat mengakses Dewa Ruci itu di perpustakaannya, sering merujuk
kepadanya dan sangat terpengaruh olehnya pada karya-karya
sufistiknya.Sebagai misal, dalam Suluk Suksma Lelana, dikisahkan seorang
santri yang bernama Suksma Lelana.Ia melakukan perjalanan panjang untuk
mencari ilmu sangkan paran kepada seorang guru kebatinan yang bernama
Syekh Iman Suci di arga (bukit) Sinai.Ia mengalami berbagai cobaan. Ia
berhadapan dengan putri Raja Kajiman bernama Dewi Sufiyah, dengan dua
orang pembantunya: Ardaruntik dan Drembabhukti.
Menurut Dr Simuh, ketiga makhluk ini melambangkan tiga macam nafsu:
Sufiyah, Amarah, dan Lawwamah. Para penafsir Dewa Ruci juga menyebut gua
di Candramuka dengan dua raksasa di sana sebagai tiga macam nafsu. Ada
juga yang menyebut Bhima dengan empat saudaranya (saderek gangsal
manunggil bayu), sebagai perjuangan diri kita melawan empat nafsu –
Lawwamah, Amarah, Sufiyah, dan Mutmainnah.
Kisah pencarian air kehidupan bukan hanya ada di Jawa.
Kisah ini bahkan bisa dilacak sampai setua kebudayaan Mesopotamia, pada
bangsa Sumeria.Di kota kuno Uruk bertahta Raja yang sangat perkasa,
Gilgamesh.
Ia tidak pernah mengalami kekecewaan kecuali ketika sahabatnya yang
sangat dicintainya, Enkidu, meninggal dunia.”Seperti singa betina yang
ditinggal mati anak-anak bayinya, sang raja mondar-mandir di dekat
ranjang kawannya, meremas-remas rambutnya sendiri, minta anak buahnya
membuat patung kawannya dan meraung-meraung dengan keras,” begitu
tertulis dalam 12 bilah papan yang dikumpulkan dari fragmen Akkadia,
kira-kira 1750 SM.
“Aduhai, biarlah aku tidak mati seperti sahabatku Enkidu. Derita telah
merasuki tubuhku. Mati aku takut. Aku akan terus berjalan. Aku tidak
akan mundur,” kata Gilgamesh sambil meneruskan perjalanannya mencari
tanaman yang akan melepaskannya dari kematian dan mengantarkannya kepada
keabadian. Hampir seperti Dewa Ruci, ia menempuh perjalanan yang berat
dan berbahaya. Ia berhadapan dengan singa-singa yang buas, yang dapat ia
hindari berkat bantuan Dewa Bulan. Ia pergi ke gunung di tempat mentari
tenggelam. Kepadanya diperlihatkan kematian. Ia berjumpa dengan manusia
kalajengking yang menjaga gua. Seorang di antaranya membukakan pintu
gua. Gilgamesh dilemparkan ke dalam kegelapan. Habis gelap terbitlah
terang. Ia sampai ke taman yang indah dan di tepi pantai ia berjumpa
dengan putri yang misterius, Siduri. Sang putri melarangnya meneruskan
perjalanan:
O Gilgamesh, whither do you fare?
The life you seek, you will not find
When the gods created man,
They apportioned death to mankind;
And retained life to themselves
O Gilgamesh, fill your belly,
Make merry, day and night;
Make of each day a festival of joy,
Dance and play, day and night!
Let your raiment be kept clean,
Your head washed, body bathed,
Pay heed to the little one, holding onto your hand,
Let your wife delighted your heart,
For in this is the portion of man
Tetapi Gilgamesh tidak ingin berkutat pada “the portion of man”.Ia ingin
mencari jauh di luar itu. Ia ingin abadi.Putri itu mengantarkannya
kepada tukang perahu kematian, yang pada
gilirannya mengantarkannya ke lautan kosmis.Di situ ia berjumpa dengan
Untuk-napishtim, yang hidup abadi bersama isterinya.Ia diberitahu bahwa
tanaman keabadian itu terletak di dasar samudra kosmis.Ia harus
memetiknya. Pohonnya berduri yang sangat tajam.Tak pernah orang datang
untuk memetik tanaman itu, kembali ke pantai dalam keadaan selamat.Jika
durinya mengenai tangan, tangan akan segera terpotong; tetapi bila
tangan itu berhasil mencabutnya, ia akan hidup abadi.Singkatnya cerita,
Gilgamesh berhasil memetiknya, membawanya ke pantai,
dan -ketika ia beristirahat mandi sejenak- ular mencuri tanaman itu.
Gilgamesh tidak bisa berusia panjang, tetapi ular bisa .
Lalu, lebih kemudian dari kebudayaan Sumeria, adalah kisah kepahlawanan
Aleksander yang Agung dari Masedonia.Setelah berbagai penaklukannya yang
menakjubkan, ia juga ingin mencari
air kehidupan, yang akan memberikannya keabadian.Aleksander menempuh
perjalanan panjang bersama tukang masaknya yang bernama Andreas.Setelah
berkelana bertahun-tahun, akhirnya keduanya memutuskan untuk mengambil
jalan terpisah.Pada suatu tempat, di tepi sungai, Andreas berhenti untuk
makan.Ia membuka bakul makanan, yang di dalamnya sudah disimpan ikan
yang sudah dimasak.Tiba-tiba sepercik air mengenai ikan itu. Ikan
melompat ke sungai.Andreas mengejar ikan itu dan akhirnya kecebur dalam
air keabadian.
Filosofi Dewa Ruci
Kiranya perlu dipahami bahwa tujuan hakiki dari kejawen adalah berusaha
mendapatkan ilmu sejati untuk mencapai hidup sejati, dan berada dalam
keadaan harmonis hubungan antara kawula (manusia)dan Gusti (Pencipta)
(manunggaling kawula Gusti )/ pendekatan kepada Yang Maha Kuasa secara
total.
Keadaan spiritual ini bisa dicapai oleh setiap orang yang percaya kepada
Sang Pencipta, yang mempunyai moral yang baik, bersih dan jujur.
beberapa laku harus dipraktekkan dengan kesadaran dan ketetapan hati
yang mantap.Pencari dan penghayat ilmu sejati diwajibkan untuk melakukan
sesuatu yang berguna bagi semua orang serta melalui kebersihan hati dan
tindakannya. Cipta, rasa, karsa dan karya harus baik, benar, suci dan
ditujukan untuk mamayu hayuning bawono. Kejawen merupakan aset dari
orang Jawa tradisional yang berusaha memahami dan mencari makna dan
hakekat hidup yang mengandung nilai-nilai spiritual yang tinggi.
Tindakan tersebut dibagi tiga bagian yaitu tindakan simbolis dalam
religi, tindakan simbolis dalam tradisi dan tindakan simbolis dalam
seni. Tindakan simbolis dalam religi, adalah contoh kebiasaan orang Jawa
yang percaya bahwa Tuhan adalah zat yang tidak mampu dijangkau oleh
pikiran manusia, karenanya harus di simbolkan agar dapat di akui
keberadaannya misalnya dengan menyebut Tuhan dengan Gusti Ingkang
Murbheng Dumadi, Gusti Ingkang Maha Kuaos, dan sebagainya. Tindakan
simbolis dalam tradisi dimisalkan dengan adanya tradisi upacara kematian
yaitu medoakan orang yang meninggal pada tiga hari, tujuh hari,
empatpuluh hari, seratus hari, satu tahun, dua tahun ,tiga tahun, dan
seribu harinya setelah seseorang meninggal ( tahlilan ). Dan tindakan
simbolis dalam seni dicontohkan dengan berbagai macam warna yang
terlukis pada wajah wayang kulit; warna ini menggambarkan karakter dari
masing-masing tokoh dalam wayang.
Perkembangan budaya jawa yang mulai tergilas oleh perkembangan teknologi
yang mempengaruhi pola pikir dan tindakan orang jawa dalam kehidupan.
Maka orang mulai berfikir bagaimana bisa membuktikan hal gaib secara
empiris tersebut dengan menggunakan berbagai macam metode tanpa
mengindahkan unsur kesakralan. Bahkan terkadang kepercayaan itu
kehilangan unsur kesakralannya karena dijadikan sebagai obyek exploitasi
dan penelitian.
Kebiasaan orang Jawa yang percaya bahwa segala sesuatu adalah simbol
dari hakikat kehidupan, seperti syarat sebuah rumah harus memiliki empat
buah soko guru (tiang penyangga) yang melambangkan empat unsur alam
yaitu tanah, air, api, dan udara, yang ke empatnya dipercaya akan
memperkuat rumah baik secara fisik dan mental penghuni rumah tersebut.
Namun dengan adanya teknologi konstruksi yang semakin maju, keberadaan
soko guru itu tidak lagi menjadi syarat pembangunan rumah.Dengan analisa
tersebut dapat diperkirakan bagaimana nantinya faham simbolisme akan
bergeser dari budaya jawa. Tapi bahwa simbolisme tidak akan terpengaruh
oleh kehidupan manusia tapi kehidupan manusialah yang tergantung pada
simbolisme. Dan sampai kapanpun simbolisme akan terus berkembang
mengikuti berputarnya cakra panggilingan.
Orang Jawa menganggap cerita wayang merupakan cermin dari pada kehidupannya.
Dewa Ruci yang merupakan cerita asli wayang Jawa memberikan gambaran
yang jelas mengenai hubungan harmonis antara Kawula dan Gusti, yang
diperagakan oleh Bima atau Aria Werkudara dan Dewa Ruci.Dalam bentuk
kakawin (tembang) oleh Pujangga Surakarta,Yosodipuro berjudul:”Serat
Dewaruci Kidung” yang disampaikan dalam bentuk macapat, berbahasa halus
dan sesuai rumus-rumus tembang, dengan bahasa Kawi, Sanskerta dan Jawa
Kuna.
Intisari cerita tersebut yaitu bahwa pihak kaum Kurawa dengan dinegeri
Amarta, ingin menjerumuskan pihak Pandawa dinegeri Astina,(yang
sebenarnya adalah:bersaudara) ke dalam kesengsaraan, melalui perantaraan
guru Durna. Sena yang juga adalah murid guru Durno diberikan ajaran:
bahwa dalam mencapai kesempurnaan demi kesucian badan ,Sena diharuskan
mengikuti perintah sang Guru untuk mencari air suci penghidupan ke hutan
Tibrasara. Sena mengikuti perintah gurunya dan yakin tidak mungkin
teritipu dan terbunuh oleh anjuran Gurunya, dan tetap berniat pergi
mengikuti perintah sang Guru,walaupun sebenarnya ada niat sang Guru
Durno untuk mencelakaannya.Diceritakan Pada saat di negeri Amarta ,Prabu
Suyudana/raja Mandaraka/prabu Salya sedang rapat membahas bagaimana
caranya Pandawa dapat ditipu secara halus agar musnah, sebelum
terjadinya perang Baratayuda, bersama dengan Resi Druna, Adipati Karna,
Raden Suwirya, Raden Jayasusena, Raden Rikadurjaya, Adipati dari
Sindusena, Jayajatra, Patih Sengkuni, Bisma, Dursasana, dan lain-lainnya
termasuk para sentana/pembesar andalan lainnya.
Kemudian Durna memberi petunjuk kepada Sena, bahwa jika ia telah
menemukan air suci itu ,maka akan berarti dirinya mencapai kesempurnaan,
menonjol diantara sesama makhluk,dilindungi ayah-ibu, mulia, berada
dalam triloka,akan hidup kekal adanya. Selanjutnya dikatakan, bahwa
letak air suci ada di hutan Tibrasara, dibawah Gandawedana, di gunung
Candramuka, di dalam gua. Kemudian setelah ia mohon pamit kepada Druna
dan prabu Suyudana, lalu keluar dari istana, untuk mohon pamit, mereka
semua tersenyum, membayangkan Sena berhasil ditipu dan akan hancur lebur
melawan dua raksasa yang tinggal di gua itu, sebagai rasa optimisnya
,untuk sementara merekamerayakan dengan bersuka-ria, pesta makan minum
sepuas-puasnya.
Setelah sampai di gua gunung Candramuka, air yang dicari ternyata tidak
ada, lalu gua disekitarnya diobrak-abrik. Raksasa Rukmuka dan Rukmakala
yang berada di gua terkejut, marah dan mendatangi Sena. Namun walau
telah dijelaskan niat kedatangannya, kedua raksasa itu karena merasa
terganggu akibat ulah Sena, tetap saja mengamuk. Terjadi perkelahian
…….Namun dalam perkelahian dua Raksaksa tersebut kalah, ditendang,
dibanting ke atas batu dan meledak hancur lebur. Kemudian Sena mengamuk
dan mengobrak-abrik lagi sampai lelah,dalam hatinya ia bersedih hati dan
berfikir bagaimana mendapatkan air suci tersebut.Karena
kelelahan,kemudian ia berdiri dibawah pohon beringin.
Setibanya di serambi Astina, saat lengkap dihadiri Resi Druna, Bisma,
Suyudana, Patih Sangkuni, Sindukala, Surangkala, Kuwirya Rikadurjaya,
Jayasusena, lengkap bala Kurawa, dan lain-lainnya, terkejut….! atas
kedatangan Sena. Ia memberi laporan tentang perjalannya dan dijawab oleh
Sang Druna :bahwa ia sebenarnya hanya diuji, sebab tempat air yang
dicari, sebenarnya ada di tengah samudera. Suyudana juga membantu bicara
untuk meyakinkan Sena.
Karena tekad yang kuat maka Senapun nekat untuk pergi lagi….., yang
sebelumnya ia sempat mampir dahulu ke Ngamarta.(tempat para kerabatnya
berada) Sementara itu di Astina keluarga Sena yang mengetahui tipudaya
pihak Kurawa mengirim surat kepada prabu Harimurti/Kresna di Dwarawati,
yang dengan tergesa-gesa bersama bala pasukan datang ke Ngamarta.
Setelah menerima penjelasan dari Darmaputra, Kresna mengatakan bahwa
janganlah Pandawa bersedih, sebab tipu daya para Kurawa akan mendapat
balasan dengan jatuhnya bencana dari dewata yang agung. Ketika sedang
asyik berbincang-bincang, datanglah Sena, yang membuat para Pandawa
termasuk Pancawala, Sumbadra, Retna Drupadi dan Srikandi, dan
lain-lainnya, senang dan akan mengadakan pesta. Namun tidak disangka,
karena Sena ternyata melaporkan bahwa ia akan meneruskan pencarian air
suci itu, yaitu ke tengah samudera. Nasehat dan tangisan, termasuk
tangisan semua sentana laki-laki dan perempuan, tidak membuatnya mundur.
Sena berangkat pergi, tanpa rasa takut keluar masuk hutan, naik turun
gunung, yang akhirnya tiba di tepi laut. Sang ombak bergulung-gulung
menggempur batu karang bagaikan menyambut dan tampak kasihan kepada yang
baru datang, bahwa ia di tipu agar masuk ke dalam samudera, topan
datang juga riuh menggelegar, seakan mengatakan bahwa Druna memberi
petunjuk sesat dan tidak benar.
Bagi Sena, lebih baik mati dari pada pulang menentang sang Maharesi,
walaupun ia tidak mampu masuk ke dalam air, ke dasar samudera. Maka
akhirnya ia berpasrah diri, tidak merasa takut, sakit dan mati memang
sudah kehendak dewata yang agung, karena sudah menyatakan kesanggupan
kepada Druna dan prabu Kurupati, dalam mencari Tirta Kamandanu, masuk ke
dalam samudera.
Dengan suka cita ia lama memandang laut dan keindahan isi laut,
kesedihan sudah terkikis, menerawang tanpa batas, lalu ia memusatkan
perhatian tanpa memikirkan marabahaya, dengan semangat yang
menyala-nyala mencebur ke laut, tampak kegembiraannya, dan tak lupa
digunakannya ilmu Jalasengara, agar air menyibak.
Alkisah ada naga sebesar segara anakan, pemangsa ikan di laut, wajah
liar dan ganas, berbisa sangat mematikan, mulut bagai gua, taring tajam
bercahaya, melilit Sena sampai hanya tertinggal lehernya, menyemburkan
bisa bagai air hujan. Sena bingung dan mengira cepat mati, tapi saat
lelah tak kuasa meronta, ia teringat segera menikamkan kukunya, kuku
Pancanaka, menancap di badan naga, darah memancar deras, naga besar itu
mati, seisi laut bergembira.
Sementara itu Pandawa bersedih hati dan menangis memohon penuh iba,
kepada prabu Kresna. Lalu dikatakan oleh Kresna, bahwa Sena tidak akan
meninggal dunia, bahkan mendapatkan pahala dari dewata yang nanti akan
datang dengan kesucian, memperoleh cinta kemuliaan dari Hyang Suksma
Kawekas, diijinkan berganti diri menjadi batara yang berhasil menatap
dengan hening. Para saudaranya tidak perlu sedih dan cemas.
Kembali dikisahkan Sang Wrekudara yang masih di samudera, ia bertemu
dengan dewa berambut panjang, seperti anak kecil bermain-main di atas
laut, bernama Dewa Ruci. Lalu ia berbicara :”Sena apa kerjamu, apa
tujuanmu, tinggal di laut, semua serba tidak ada tak ada yang dapat di
makan, tidak ada makanan, dan tidak ada pakaian. Hanya ada daun kering
yang tertiup angin, jatuh didepanku, itu yang saya makan”. Dikatakan
pula :”Wahai Wrekudara, segera datang ke sini, banyak rintangannya, jika
tidak mati-matian tentu tak akan dapat sampai di tempat ini, segalanya
serba sepi. Tidak terang dan pikiranmu memaksa, dirimu tidak sayang
untuk mati, memang benar, disini tidak mungkin ditemukan”.
“Kau pun keturunan Sang Hyang Pramesthi, Hyang Girinata, kau keturunan
dari Sang Hyang Brama asal dari para raja, ayahmu pun keturunan dari
Brama, menyebarkan para raja, ibumu Dewi Kunthi, yang memiliki
keturunan, yaitu sang Hyang Wisnu Murti. Hanya berputra tiga dengan
ayahmu, Yudistira sebagai anak sulung, yang kedua dirimu, sebagai
penengah adalah Dananjaya, yang dua anak lain dari keturunan dengan
Madrim, genaplah Pandawa, kedatanganmu disini pun juga atas petunjuk
Dhang Hyang Druna untuk mencari air Penghidupan berupa air jernih,
karena gurumu yang memberi petunjuk, itulah yang kau laksanakan, maka
orang yang bertapa sulit menikmati hidupnya”, lanjut Dewa Ruci.
Kemudian dikatakan :”Jangan pergi bila belum jelas maksudnya, jangan
makan bila belum tahu rasa yang dimakan, janganlah berpakaian bila belum
tahu nama pakaianmu. Kau bisa tahu dari bertanya, dan dengan meniru
juga, jadi dengan dilaksanakan, demikian dalam hidup, ada orang bodoh
dari gunung akan membeli emas, oleh tukang emas diberi kertas kuning
dikira emas mulia. Demikian pula orang berguru, bila belum paham, akan
tempat yang harus disembah”.
Wrekudara masuk tubuh Dewa Ruci menerima ajaran tentang Kenyataan
“Segeralah kemari Wrekudara, masuklah ke dalam tubuhku”, kata Dewa Ruci.
Sambil tertawa sena bertanya :”Tuan ini bertubuh kecil, saya bertubuh
besar, dari mana jalanku masuk, kelingking pun tidak mungkin masuk”.Dewa
Ruci tersenyum dan berkata lirih:”besar mana dirimu dengan dunia ini,
semua isi dunia, hutan dengan gunung, samudera dengan semua isinya, tak
sarat masuk ke dalam tubuhku”.
Atas petunjuk Dewa Ruci, Sena masuk ke dalam tubuhnya melalui telinga
kiri. Dan tampaklah laut luas tanpa tepi, langit luas, tak tahu mana
utara dan selatan, tidak tahu timur dan barat, bawah dan atas, depan dan
belakang. Kemudian, terang, tampaklah Dewa Ruci, memancarkan sinar, dan
diketahui lah arah, lalu matahari, nyaman rasa hati.
Ada empat macam benda yang tampak oleh Sena, yaitu hitam, merah kuning
dan putih. Lalu berkatalah Dewa Ruci: “Yang pertama kau lihat cahaya,
menyala tidak tahu namanya, Pancamaya itu, sesungguhnya ada di dalam
hatimu, yang memimpin dirimu, maksudnya hati, disebut muka sifat, yang
menuntun kepada sifat lebih, merupakan hakikat sifat itu sendiri. Lekas
pulang jangan berjalan, selidikilah rupa itu jangan ragu, untuk hati
tinggal, mata hati itulah, menandai pada hakikatmu, sedangkan yang
berwarna merah, hitam, kuning dan putih, itu adalah penghalang hati.
Yang hitam kerjanya marah terhadap segala hal, murka, yang menghalangi
dan menutupi tindakan yang baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang baik,
segala keinginan keluar dari situ, panas hati, menutupi hati yang sadar
kepada kewaspadaan. Yang kuning hanya suka merusak. Sedangkan yang
putih berarti nyata, hati yang tenang suci tanpa berpikiran ini dan itu,
perwira dalam kedamaian. Sehingga hitam, merah dan kuning adalah
penghalang pikiran dan kehendak yang abadi, persatuan Suksma Mulia.
Lalu Wrekudara melihat, cahaya memancar berkilat, berpelangi melengkung,
bentuk zat yang dicari, apakah gerangan itu ?! Menurut Dewa Ruci, itu
bukan yang dicari (air suci), yang dilihat itu yang tampak berkilat
cahayanya, memancar bernyala-nyala, yang menguasai segala hal, tanpa
bentuk dan tanpa warna, tidak berwujud dan tidak tampak, tanpa tempat
tinggal, hanya terdapat pada orang-orang yang awas, hanya berupa firasat
di dunia ini, dipegang tidak dapat, adalah Pramana, yang menyatu dengan
diri tetapi tidak ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat
tinggal di tubuh, tidak ikut makan dan minum, tidak ikut merasakan sakit
dan menderita, jika berpisah dari tempatnya, raga yang tinggal, badan
tanpa daya. Itulah yang mampu merasakan penderitaannya, dihidupi oleh
suksma, ialah yang berhak menikmati hidup, mengakui rahasia zat.
Kehidupan Pramana dihidupi oleh suksma yang menguasai segalanya, Pramana
bila mati ikut lesu, namun bila hilang, kehidupan suksma ada. Sirna
itulah yang ditemui, kehidupan suksma yang sesungguhnya, Pramana
Anresandani.
Jika ingin mempelajari dan sudah didapatkan, jangan punya kegemaran,
bersungguh-sungguh dan waspada dalam segala tingkah laku, jangan bicara
gaduh, jangan bicarakan hal ini secara sembunyi-sembunyi, tapi lekaslah
mengalah jika berselisih, jangan memanjakan diri, jangan lekat dengan
nafsu kehidupan tapi kuasailah.
Tentang keinginan untuk mati agar tidak mengantuk dan tidak lapar, tidak
mengalami hambatan dan kesulitan, tidak sakit, hanya enak dan
bermanfaat, peganglah dalam pemusatan pikiran, disimpan dalam buana,
keberadaannya melekat pada diri, menyatu padu dan sudah menjadi kawan
akrab. Sedangkan Suksma Sejati, ada pada diri manusia, tak dapat
dipisahkan, tak berbeda dengan kedatangannya waktu dahulu, menyatu
dengan kesejahteraan dunia, mendapat anugerah yang benar, persatuan
manusia/kawula dan pencipta/Gusti. Manusia bagaikan wayang, Dalang yang
memainkan segala gerak gerik dan berkuasa antara perpaduan kehendak,
dunia merupakan panggungnya, layar yang digunakan untuk memainkan
panggungnya.
Penerima ajaran dan nasehat ini tidak boleh menyombongkan diri, hayati
dengan sungguh-sungguh, karena nasehat merupakan benih. Namun jika
ditemui ajaran misalnya kacang kedelai disebar di bebatuan tanpa tanah
tentu tidak akan dapat tumbuh, maka jika manusia bijaksana, tinggalkan
dan hilangkan, agar menjadi jelas penglihatan sukma, rupa dan suara.
Hyang Luhur menjadi badan Sukma Jernih, segala tingkah laku akan menjadi
satu, sudah menjadi diri sendiri, dimana setiap gerak tentu juga
merupakan kehendak manusia, terkabul itu namanya, akan segala keinginan,
semua sudah ada pada manusia, semua jagad ini karena diri manusia,
dalam segala janji janganlah ingkar.
Jika sudah paham akan segala tanggung jawab, rahasiakan dan tutupilah.
Yang terbaik, untuk disini dan untuk disana juga, bagaikan mati di dalam
hidup, bagaikan hidup dalam mati, hidup abadi selamanya, yang mati itu
juga. Badan hanya sekedar melaksanakan secara lahir, yaitu yang menuju
pada nafsu.
Wrekudara setelah mendengar perkataan Dewa Ruci, hatinya terang
benderang, menerima dengan suka hati, dalam hati mengharap mendapatkan
anugerah wahyu sesungguhnya. Dan kemudian dikatakan oleh Dewa Ruci
:”Sena ketahuilah olehmu, yang kau kerjakan, tidak ada ilmu yang
didatangkan, semua sudah kau kuasai, tak ada lagi yang dicari,
kesaktian, kepandaian dan keperkasaan, karena kesungguhan hati ialah
dalam cara melaksanakan.
Dewa Ruci selesai menyampaikan ajarannya, Wrekudara tidak bingung dan
semua sudah dipahami, lalu kembali ke alam kemanusiaan, gembira hatinya,
hilanglah kekalutan hatinya, dan Dewa Ruci telah sirna dari mata,
Wrekudara lalu mengingat, banyak yang didengarnya tentang tingkah para
Pertapa yang berpikiran salah, mengira sudah benar, akhirnya tak
berdaya, dililit oleh penerapannya, seperti mengharapkan kemuliaan,
namun akhirnya tersesat dan terjerumus.
Bertapa tanpa ilmu, tentu tidak akan berhasil, kematian seolah
dipaksakan, melalui kepertapaannya, mengira dapat mencapai kesempurnaan
dengan cara bertapa tanpa petunjuk, tanpa pedoman berguru,
mengosongkanan pikiran, belum tentu akan mendapatkan petunjuk yang
nyata. Tingkah seenaknya, bertapa dengan merusak tubuh dalam mencapai
kamuksan, bahkan gagallah bertapanya itu.
Guru yang benar, mengangkat murid/cantrik, jika memberi ajaran tidak
jauh tempat duduknya, cantrik sebagai sahabatnya, lepas dari pemikiran
batinnya, mengajarkan wahyu yang diperoleh. Inilah keutamaan bagi
keduanya.
Tingkah manusia hidup usahakan dapat seperti wayang yang dimainkan di
atas panggung, di balik layar ia digerak-gerakkan, banyak hiasan yang
dipasang, berlampu panggung matahari dan rembulan, dengan layarnya alam
yang sepi, yang melihat adalah pikiran, bumi sebagai tempat berpijak,
wayang tegak ditopang orang yang menyaksikan, gerak dan diamnya
dimainkan oleh Dalang, disuarakan bila harus berkata-kata, bahwa itu
dari Dalang yang berada dibalik layar, bagaikan api dalam kayu, berderit
oleh tiupan angin, kayu hangus mengeluarkan asap, sebentar kemudian
mengeluarkan api yang berasal dari kayu, ketahuilah asal mulanya,
semuanya yang tergetar, oleh perlindungan jati manusia, yang yang
kemudian sebagai rahasia.
Kembali ke Negeri Ngamarta
Tekad yang sudah sempurna, dengan penuh semangat, Raden Arya Wrekudara
kemudian pulang dan tiba ke negerinya, Ngamarta, tak berpaling hatinya,
tidak asing bagi dirinya, sewujud dan sejiwa, dalam kenyataan ditutupi
dan dirahasiakan, dilaksanakan untuk memenuhi kesatriaannya. Permulaan
jagad raya, kelahiran batin ini, memang tidak kelihatan, yang bagaikan
sudah menyatu, seumpama suatu bentukan, itulah perjalanannya.
Bersamaan dengan kedatangan Sena, di Ngamarta sedang berkumpul para
saudaranya bersama Sang Prabu Kresna, yang sedang membicarakan kepergian
Sena, cara masuk dasar samudera. Maka disambutlah ia, dan saat ditanya
oleh Prabu Yudistira mengenai perjalanan tugasnya, ia menjawab bahwa
perjalanannya itu dicurangi, ada dewa yang memberi tahu kepadanya, bahwa
di lautan itu sepi,tidak ada air penghidupan. Gembira mendengar itu,
lalu Kresna berkata :”Adikku ketahuilah nanti, jangan lupa segala
sesuatu yang sudah terjadi ini”.MAKNA AJARAN DEWA RUCI
- Pencarian air suci Prawitasari
Guru Durna memberitahukan Bima untuk menemukan air suci Prawitasari.
Prawita dari asal kata Pawita artinya bersih, suci; sari artinya inti.
Jadi Prawitasari pengertiannya adalah inti atau sari dari pada ilmu
suci.
- Hutan Tikbrasara dan Gunung Reksamuka
Air suci itu dikatakan berada dihutan Tikbrasara, dilereng Gunung
Reksamuka. Tikbra artinya rasa prihatin; sara berarti tajamnya pisau,
ini melambangkan pelajaran untuk mencapai lendeping cipta (tajamnya
cipta). Reksa berarti mamalihara atau mengurusi; muka adalah wajah, jadi
yang dimaksud dengan Reksamuka dapat diartikan: mencapai sari ilmu
sejati melalui samadi.
1. Sebelum melakukan samadi orang harus membersihkan atau menyucikan
badan dan jiwanya dengan air.2. Pada waktu samadi dia harus memusatkan
ciptanya dengan fokus pandangan kepada pucuk hidung. Terminologi mistis
yang dipakai adalah mendaki gunung Tursina, Tur berarti gunung, sina
berarti tempat artinya tempat yang tinggi.Pandangan atau paningal sangat
penting pada saat samadi. Seseorang yang mendapatkan restu dzat yang
suci, dia bisa melihat kenyataan antara lain melalui cahaya atau sinar
yang datang kepadanya waktu samadi. Dalam cerita wayang digambarkan
bahwasanya Resi Manukmanasa dan Bengawan Sakutrem bisa pergi ketempat
suci melalui cahaya suci.
- Raksasa Rukmuka dan Rukmakala
Di hutan, Bima diserang oleh dua raksasa yaitu Rukmuka dan Rukmala.
Dalam pertempuran yang hebat Bima berhasil membunuh keduanya, ini
berarti Bima berhasil menyingkirkan halangan untuk mencapai tujuan
supaya samadinya berhasil.
Rukmuka : Ruk berarti rusak, ini melambangkan hambatan yang berasal dari kemewahan makanan yang enak (kemukten).
Rukmakala : Rukma berarti emas, kala adalha bahaya, menggambarkan
halangan yang datang dari kemewahan kekayaan material antara lain:
pakaian, perhiasan seperti emas permata dan lain-lain (kamulyan)
Bima tidak akan mungkin melaksanakan samadinya dengan sempurna yang
ditujukan kepada kesucian apabila pikirannya masih dipenuhi oleh
kamukten dan kamulyan dalam kehidupan, karena kamukten dan kamulyan akan
menutupi ciptanya yang jernih, terbunuhnya dua raksasa tersebut dengan
gamblang menjelaskan bahwa Bima bisa menghapus halangan-halangan
tersebut.
- Samudra dan Ular
Bima akhirnya tahu bahwa air suci itu tidak ada di hutan , tetapi
sebenarnya berada didasar samudra. Tanpa ragu-ragu sedikitpun dia menuju
ke samudra. Ingatlah kepada perkataan Samudra Pangaksama yang berarti
orang yang baik semestinya memiliki hati seperti luasnya samudra, yang
dengan mudah akan memaafkan kesalahan orang lain.
Ular adalah simbol dari kejahatan. Bima membunuh ular tersebut dalam
satu pertarungan yang seru. Disini menggambarkan bahwa dalam pencarian
untuk mendapatkan kenyataan sejati, tidaklah cukup bagi Bima hanya
mengesampingkan kamukten dan kamulyan, dia harus juga menghilangkan
kejahatan didalam hatinya. Untuk itu dia harus mempunyai sifat-sifat
sebagai berikut:
1. Rila: dia tidak susah apabila kekayaannya berkurang dan tidak iri
kepada orang lain.2. Legawa : harus selalu bersikap baik dan benar.
3. Nrima : bersyukur menerima jalan hidup dengan sadar.
4. Anoraga : rendah hati, dan apabila ada orang yang berbuat jahat kepadanya, dia tidak akan membalas, tetap sabar.
5. Eling : tahu mana yang benar dan salah dan selalu akan berpihak kepada kebaikan dan kebenaran.
6. Santosa : selalu beraa dijalan yang benar, tidak pernah berhenti
untuk berbuat yang benar antara lain : melakukan samadi. Selalu waspada
untuk menghindari perbuatan jahat.
7. Gembira : bukan berarti senang karena bisa melaksanakan kehendak atau
napsunya, tetapi merasa tentram melupakan kekecewaan dari pada
kesalahan-kesalahan dari kerugian yang terjadi pada masa lalu.
8. Rahayu : kehendak untuk selalu berbuat baik demi kepentingan semua pihak.
9. Wilujengan : menjaga kesehatan, kalau sakit diobati.
10. Marsudi kawruh : selalu mencari dan mempelajari ilmu yang benar.
11. Samadi.
12. Ngurang-ngurangi: dengan antara lain makan pada waktu sudah lapar,
makan tidak perlu banyak dan tidak harus memilih makanan yang enak-enak:
minum secukupnya pada waktu sudah haus dan tidak perlu harus memilih
minuman yang lezat; tidur pada waktu sudah mengantuk dan tidak perlu
harus tidur dikasur yang tebal dan nyaman; tidak boleh terlalu sering
bercinta dan itu pun hanya boleh dilakukan dengan pasangannya yang sah.
Pertemuan dengan Dewa Suksma RuciSesudah Bima mebunuh ular dengan
menggunakan kuku Pancanaka, Bima bertemu dengan Dewa kecil yaitu Dewa
Suksma Ruci yang rupanya persis seperti dia. Bima memasuki raga Dewa
Suksma Ruci melalui telinganya yang sebelah kiri. Didalam, Bima bisa
melihat dengan jelas seluruh jagad dan juga melihat dewa kecil tersebut.
Pelajaran spiritual dari pertemuan ini adalah :
- Bima bermeditasi dengan benar, menutup kedua matanya, mengatur
pernapasannya, memusatkan perhatiannya dengan cipta hening dan rasa
hening.
- Kedatangan dari dewa Suksma Ruci adalah pertanda suci, diterimanya samadi Bima yaitu bersatunya kawula dan Gusti.
Didalam paningal (pandangan didalam) Bima bisa melihat segalanya
segalanya terbuka untuknya (Tinarbuka) jelas dan tidak ada rahasia lagi.
Bima telah menerima pelajaran terpenting dalam hidupnya yaitu bahwa
dalam dirinya yang terdalam, dia adalah satu dengan yang suci, tak
terpisahkan. Dia telah mencapai kasunyatan sejati. Pengalaman ini dalam
istilah spiritual disebut “mati dalam hidup” dan juga disebut “hidup
dalam mati”. Bima tidak pernah merasakan kebahagiaan seperti ini
sebelumnya. Mula-mula di tidak mau pergi tetapi kemudian dia sadar bahwa
dia harus tetap melaksanakan pekerjaan dan kewajibannya, ketemu
keluarganya dan lain-lain.
Arti simbolis pakaian dan perhiasan Bima
Bima mengenakan pakaian dan perhiasan yang dipakai oleh orang yang telah
mencapai kasunytan-kenyataan sejati. Gelang Candrakirana dikenakan pada
lengan kiri dan kanannya. Candra artinya bulan, kirana artinya sinar.
Bima yang sudah tinarbuka, sudah menguasai sinar suci yang terang yang
terdapat didalam paningal.
Batik poleng : kain batik yang mempunyai 4 warna yaitu; merah, hitam,
kuning dan putih. Yang merupakan simbol nafsu, amarah, alumah, supiah
dan mutmainah. Disini menggambarkan bahwa Bima sudah mampu untuk
mengendalikan nafsunya.
Tusuk konde besar dari kayu asem
Kata asem menunjukkan sengsem artinya tertarik, Bima hanya tertarik
kepada laku untuk kesempurnaan hidup, dia tidak tertarik kepada kekeyaan
duniawi.
Tanda emas diantara mata.
Artiya Bima melaksanakan samadinya secara teratur dan mantap.
Kuku Pancanaka
Bima mengepalkan tinjunya dari kedua tangannya.
Melambangkan :
1. Dia telah memegang dengan kuat ilmu sejati.
2. Persatuan orang-orang yang bermoral baik adalah lebih kuat, dari
persatuan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, meskipun jumlah
orang yang bermoral baik itu kalah banyak.
Contohnya lima pandawa bisa mengalahkan seratus korawa. Kuku pancanaka
menunjukkan magis dan wibawa seseorang yang telah mencapai ilmu sejati.