Pada
tatanan spiritual, tidak jarang muncul keangkuhan bagi pemrakteknya
yang biasa disebut orang sebagai kaum spiritualis. Dalam agama Islam,
keangkuhan spiritual ini diwakili,
misalnya, oleh kelompok-kelompok yang berbau tasawuf atau kesufian
terhadap kelompok lainnya yang dikelompokkan orang sebagai kelompok
syariat (non spiritualis). Kaum spiritualis umumnya sangat meremehkan
kaum syariat yang mereka anggap sebagai kumpulan orang-orang yang
tingkat pemahaman agamanya hanya terbatas pada penerapan hukum-hukum
formal saja. Sehingga adakalanya sang spiritualis itu sangat meremehkan
sekali syariat agama yang ada. Syariat dianggap mereka hanya untuk
orang-orang yang belum mencapai tingkatan pendakian spiritual.
Bahkan sang spiritualis dengan mudahnya melanggar syariat itu sendiri seperti, dia mabuk-mabukan,
suka perempuan lain yang bukan istrinya, dan sebagainya. Karena sang
spiritualis sudah merasa bahwa sang aku dirinya adalah kebenaran itu
sendiri. Apapun yang dia lakukan, maka dia menganggap bahwa hakekatnya
semua itu adalah kebenaran. Dalam istilah umumnya suasana spiritualis
seperti ini dinamakan orang dengan wilayah sufi yang sedang HELAF.
Pada
taraf tertentu pun, terutama bagi spiritualis yang sudah bisa
menjalankan kesadarannya atau fikirannya “menembus alam-alam imajinasi”,
tidak jarang pula mereka malah melecehkan syariat itu sendiri. Misalnya
mereka tidak lagi melakukan shalat. Karena dengan teknik perjalanan
rohaninya, sang spiritualis merasa
bahwa dirinya telah shalat di Mekkah, padahal saat itu dia masih berada
di daerahnya sendiri. Dan biasanya sang spiritualis itu sebaliknya
malah bisa dzikir (wirid) dalam waktu yang sangat lama.
Atau
bisa juga sang spiritualis tetap menjalankan shalatnya, akan tetapi
adakalanya dia dalam shalatnya itu mengalami apa yang disebutnya
sebagai fana, dimana di tengah-tengah shalatnya sang
spiritualis mengalami suasana perjalanan (moksa) menemui Tuhan. Sang
spiritualis itu terjatuh ketika shalatnya dan keadaannya berada dalam
suasana seperti pingsan. Keadaan seperti ini yang diyakini oleh
pemrakteknya sebagai fana, dapat berlangsung lama. Dan begitu
kesadarannya kembali, maka dianggap selesai pulalah shalatnya. Dan
pemrakteknya meyakini bahwa inilah tingkatan shalat yang paling tinggi.
Dulu, sewaktu menjalani suluk di sebuah tarekat, saya pernah sebentar
terjebak dalam suasana seperti ini. Akan tetapi setelah dikelupasi
kulitnya seperti ini, ternyata istilah MI’RAJ dalam pengertian seperti
ini sama persis dengan MOKSA dalam istilah agama lain.
Tidak
jarang pula ada spiritualis yang hanya asyik masyuk dengan Tuhannya.
Sehingga setiap saat sang spiritualis dibuat sibuk dengan
keasyik-masyukkannya dengan Tuhan itu. Dan biasanya sang aku diri yang
seperti ini bawaannya malas-malasan, tidak mau bekerja, inginnya menyepi
terus ke tempat-tempat sunyi. Sehingga fungsi kekhalifahannya sudah
nyaris hilang sama sekali. Dia menjadi sibuk dengan dirinya sendiri.
MENGAMBIL PELAJARAN…!!
Pada
lapisan kulit sang aku diri ini, semua agama dan praktek-praktek
riyadah (olah jiwa) boleh jadi masih berada dalam wilayah yang sama,
yaitu wilayah sang aku diri. Dapatlah dikatakan bahwa kulit terakhir
yang tersisa dari usaha mengupas kulit bawang spiritual ini adalah sang aku diri.
Sekarang pertanyaannya adalah:
“Sudahkah spiritual itu berakhir hanya sampai dikulit terakhir ini…??”.
“Apakah spiritual itu berhenti dipengakuan sang aku diri (nafs)… ini ??”.
MELEPAS KULIT TERAKHIR, KETIADAAN, FANA…
Berada
dalam jerat pengakuan sang aku diri ini, tanpa disadari, sangatlah
menyibukkan dan bahkan sangat menyiksa, bagi orang yang tinggal di
wilayah ini. Padahal kalau orang sudah berada dalam kesadaran sang aku
diri ini, dimana orang tersebut tidak lagi terpengaruh dengan berbagai
ragam dan perbedaan pemikiran, termasuk perbedaan pemahaman keagamaan,
maka sebenarnya tinggal SELANGKAH saja lagi tugas sang aku diri itu.
YaituPENGEMBALIAN keakuan sang aku diri itu kepada Sang Aku Yang Sebenarnya, yaitu Aku Allah. Ya…, sang aku diri tinggal tidak mengaku saja. Runtuhnya pengakuan sang aku diri inilah yang disebut sebagai FANA yang hakiki. Artinya..., dengan kerendahan hati:
- Sang aku diri tidak lagi mengaku luas. Kembalikan luas itu pada Tuhan, karena hanya Tuhanlah Yang Maha Luas. Biarlah Yang Maha Luas itu sendiri yang mengaku Luas.
- Sang aku diri tidak lagi mengaku melihat. Kembalikan melihat itu kepada Tuhan, karena hanya Tuhanlah Yang Maha Melihat. Biarlah Sang Maha melihat itu mengaku bahwa Dialah yang mengalirkan rasa melihat kepada sang diri (nafs).
- Sang aku diri tidak mengaku mendengar. Kembalikan mendengar itu kepada Tuhan, karena hanya Tuhanlah Yang Maha Mendengar. Biarlah Sang Maha Mendengar itu mengaku bahwa Dialah yang mengalirkan rasa mendengar kepada sang diri (nafs).
- Sang aku diri tidak mengaku tahu. Kembalikan tahu itu kepada Tuhan, karena hanya Tuhanlah Yang Maha Tahu. Biarlah Sang Maha Tahu itu mengaku bahwa Dialah yang mengalirkan rasa tahu melihat kepada sang diri (nafs).
Proses sang aku diri untuk tidak mengaku-ngaku inilah sebenarnya makna lain dari "laa ilaaha illallah".
Tiada yang luas kecuali Dia Yang Luas.
Tiada yang melihat kecuali Dia Yang Melihat.
Tiada yang mendengar kecuali Dia Yang Mendengar.
Tiada yang tahu kecuali Dia Yang Tahu.
Tiada apa-apa yang ada kecuali Dia Itu Yang Ada.
Posisi TIDAK MENGAKU seperti
ini persis sama dengan posisi tumbuh-tumbuhan, posisi gunung-gunung,
posisi matahari dan bintang-bintang, posisi langit dan bumi, posisi alam
semesta, posisi malaikat. Semuanya tunduk dan patuh kepada Kehendak
Tuhan. Semua bersikap sebagai hamba yang selalu RELA, RIDHA menerima
kehendak dan kemauan dari Tuhan, dan Tuhan pun rela dan ridha berhendak
dan berkemauan kepada sang Hamba itu…
“… Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar". (Al Maidah 119, dan dibeberapa ayat lainnya).
Suasana
wilayah SALING RIDHA antara Hamba dengan Tuhannya inilah yang bisa
disebut sebagai wilayah FANA yang hakiki…!!. Dan FANA seperti ini
ternyata ADA SUASANANYA, ADA REALITASNYA. Jadi bukan hanya sebatas
kata-kata, kalimat-kalimat dan definisi-definisi dari otak kita.
Disamping
itu, proses pengembalian keakuan sang aku diri ini haruslah dilakukan
dengan tanpa daya dan tanpa usaha kita sendiri..., karena tiada daya dan upaya, kecuali hanya daya dan upaya dari Tuhan. Pengembalian yang hakiki itu hanya dan hanya bisa kalau kita DITUNTUN oleh Allah sendiri. Karena yang tahu tentang Allah, hanya Allah itu sendiri. Makanya kita selalu berdo'a dalam shalat kita: "Ya Allah..., tuntun saya...".
Dan yang paling penting untuk kita luruskan dalam kita berdo’a ketika
minta dituntun oleh Allah adalah: kita jangan sekali-kali mengarahkan
do’a itu kepada benda-benda, bentuk-bentuk, bayangan-bayangan, dan
persepsi-persepsi apapun.
Kalau
pengembalian itu masih dengan daya dan usaha dari sang aku diri, maka
namanya sang aku diri itu masih ada, masih eksis. Dan sang aku diri itu
akan tersiksa sekali, tatkala do’a kita tidak bersambut, yaaa…, seperti
kita-kita sekarang ini. Sehingga apa saja bisa berubah menjadi siksa.
Beda pendapat jadi siksa. Beda agama jadi siksa. Beda suku jadi siksa.
Begitu
juga kalau pengembalian keakuan sang aku diri itu diarahkan kepada
benda-benda atau alam-alam, artinya kita mengarah kepada yang BUKAN
pencipta alam semesta sendiri, maka kita akan dibuat sibuk oleh Allah
dengan segala sesuatu yang bersifat kealaman itu.
Sebaliknya
saat mana sang aku diri itu "bersedia" dibimbing oleh Allah untuk tidak
mengaku, dan posisi tidak mengaku itu berhasil dia raih, artinya sang
aku diri sudah tiada, FANA, maka yang ada tinggal hanya Yang Ada, Yang WUJUD, yaitu Aku Yang Hakiki (Allah).
Aku yang bening dan merdeka, artinya Aku yang berkehendak dengan
sendirinya. Pada posisi seperti ini, sang aku diri benar-benar hanyalah
menjadi seorang HAMBA yang bersedia:
- Otaknya "dipakai" oleh Allah untuk berkreasi dan menciptakan peradaban bagi umat manusia…,
- Dadanya "dipakai" oleh Allah untuk mengalirkan kehendak dan kemauan-Nya,
- Kelaminnya "dipakai" oleh Allah untuk proses pembiakan umat manusia.
Dan...., lalu kita hanya tinggal menjadi SAKSI SAJA atas perbuatan Allah, atas kehendak Allah, atas kreasi Allah, atas grand design Allah
dalam meramaikan dan menata alam ciptaan-Nya ini. Sungguh tidaklah
sia-sia semua ini berada di dalam genggaman Allah. Semua diatur-Nya,
semua di tata-Nya, semua diurus-Nya tanpa henti. Walau kita tidak mau
mengakui peran-Nya sekali pun, Dia tidak peduli. Dia akan Maha Sibuk
dengan segala ciptaan-Nya, karena memang segala ciptaan-Nya itu hanya
bergantung kepada-Nya …
Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan (Ar Rahman 29).
Dan
Rasulullah Muhammad SAW, dengan kualitas diri Beliau seperti ini,
dimana “sang aku” Beliau, sudah lenyap, Rasulullah ternyata menghadap
kepada Allah dengan tidak membawa apa-apa. Tidak membawa ilmu, tidak
membawa amal, tidak membawa ibadah, tidak membawa tahu, tidak membawa
melihat, tidak membawa mendengar. Beliau semata-mata hanya sebagai HAMBA
yang mau menjadi ALAT ALLAH untuk menjadi RAHMAT bagi alam semesta,
rahmat bagi segenap umat manusia. Dan peletakan dasar-dasar bagi fungsi rahmatan lil a’lamin itu itu berhasil Beliau bangun.
Hanya
sayang…, bahwa generasi-generasi penerus Beliau ternyata banyak yang
tidak amanah…!. Sehingga akibatnya sekarang Islam itu seperti dilecehkan
oleh dunia. Kasihan Rasulullah….!!!.
Lalu apakah kita juga mau ikut-ikutan menjadi generasi yang tidak amanah itu…?, Lalu apakah kita juga mau mewariskan ketidakamanahan itu berestafet kepada anak cucu kita…???. Padahal banyak sudah pelajaran yang muncul dihadapan kita atas tidak amanahnya kita dan generasi-generasi terdahulu itu. Begitu nyata akibat buruknya…!!. Lalu kenapa akibat buruk itu tidak kita jadikan sebagai bahan pelajaran buat kita untuk merubahnya kembali menjadi baik…??. Betapa sombongnya kita ini dengan tidak mau menjadi penyambung tangan Rasulullah, penyambung lidah Rasullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar