Minggu, 18 November 2012

MENYELAMLAH sendiri, Jangan hanya karena KATANYA

Sore itu ketika matahari mulai terbenam, aku bersama nelayan Tua asli dari Banyuwangi ( Muncar ) asyik ngobrol dibale panjang depan rumahnya menghadap pantai di Pulau Derawan. Kederhanaan hidupnya tercermin dalam rutinitas sebagai nelayan yg nampak selalu tegar dan murah senyum dalam lingkungan kelurga kecilnya. Dalam obrolan perkenalan ini ada hal yang membuatku tergelitik unutk mengetahui lebih dalam ttg prinsip hidup nelayan Tua ini. Ketika aku melontarkan pertanyaan apa yg bisa membuat pak Tua ini begitu tegar, murah senyum dan nampak bersemangat yg menyiratkan kebahagiaan dan kenyamanan dlm hidupnya.

Pak Tua, apa sebenarnya yang membuat bapak bgt semangat dan terkesan santai ( tdk ngoyo ) menjalani hidup ini, ” aku berseloroh “. Mas, Urip kwi nggur ” sawang sinawang ” sergah pak Tua. Donyo brono dudu ukuran seng biso ndadekno menungso urip bungah utowo seneng, bgt pak Tua menambahkan. Urip kwi biso digawe gampang ugo biso digawe susah. Intine ” Gampange wong Urip kwi, Uripe wong Gampang. Angele wong Urip kwi Uripe wong Angel “.Intine Susah lan seneng kwi ono njerone awake dhewe, dudu onok njabane awak dadine nek jarene piwulang Agomo, Surgo lan Neroko iku yo neng njerone awake dhewe seng wes diraksakno saiki dudu mengko lek wes tumekaning pati.

Sebelum pak Tua melanjutkan pembicaraannya, aku menyela…” Loh, bukannya di dalam Kitab Suci dikatakan bahwa Surga dan Neraka bisa ditemui di alam akherat nanti pak??? “. Pak Tua menimpali, Lo iku lak jarene Tulisan nok Kitab Suci, opo sampeyan percoyo karo tulisan???. Perkataan pak Tua ini membuatku tertarik untuk melanjutkan diskusi sambil cangkruk di bale panjang sambil ditemani suguhan wedang Kopi. Dengan semangat akupun melanjutkan pertanyaan seperti di bawah ini :

Santri Gundhul : Mengapa orang mesti beragama?

Nelayan Tua : Siapa yang mengatakan mesti?

Santri Gundhul : Sejak kecil aku dinasehati untuk menjadi orang yang taat beragama, karena hanya dengan demikian orang akan masuk surga. Lebih khusus, lagi, aku juga diajari bahwa hanya yang memeluk Islam yang bakal masuk surga.

Nelayan Tua : He, he…dan engkaupun percaya?

Santri Gundhul : Mau tidak mau, karena hanya dengan begitu aku bisa masuk surga. Siapa yang tak ingin masuk surga?

Nelayan Tua : Lantas, apa yang kau maksud dengan surga?

Santri Gundhul : Menurut berita yang kuterima, itu adalah sebuah tempat yang teramat indah, yang didalamnya ada kebun yang indah, sungai mengalir di bawahnya, dan yang paling menarik..ada bidadari-bidadari yang teramat cantik…

Nelayan Tua : Ooooo….jadi engkau berjuang menjadi pemeluk agama yang taat agar bisa menikmati semua itu?

Santri Gundhul : Ya, kurang lebih begitu….

Nelayan Tua : Bagaimana jika semua itu tak ada? Apakah engkau masih akan taat beragama?

Santri Gundhul : aku belum memikirkannya….

Nelayan Tua : Ternyata…engkau itu pribadi yang tak ikhlash..kau berbuat sesuatu karena ada maunya…ada pamrih

Santri Gundhul : Bukan begitu…aku hanya mengikuti apa yang diajarkan kepadaku….

Nelayan Tua : He, he…kini engkau berkilah……Tapi baiklah…apakah yang mengajarkanmu demikian, pernah melihat surga? Apakah mereka tahu pasti bahwa surga itu ada?

Santri Gundhul : aku tak yakin..yang kutahu..mereka mengatakan surga itu ada karena itulah yang dikatakan Kitab Suci…

Nelayan Tua : Oh..jadi, diapun belum pernah tahu dan melihat sendiri…..

Santri Gundhul : Lalu apa salahnya..bukankah yang dikatakan Kitab Suci itu pasti benar?

Nelayan Tua : Yang bilang salah siapa? aku hanya ingin tanya, apakah pemahamanmu, dan pemahaman orang-orang yang mengajarimu tentang yang dikatakan di dalam Kitab Suci itu pasti benar?

Santri Gundhul : Kalau boleh jujur, kemungkinannya bisa benar ya bisa salah…

Nelayan Tua : Lalu, apa yang bisa menjadi tolak ukur bahwa pemahaman itu benar atau salah…

Santri Gundhul : Bukankah..pemahaman terhadap Kitab Suci itu sudah baku? Bukankah semua ulama memahami bahwa memang surga itu seperti yang dikatakan di dalam kitab suci, dan bahwa itu hanya diperuntukkan bagi orang Islam?

Nelayan Tua : Itulah masalahnya….kamu menganggap sesuatu yang cuma merupakan pemahaman, persepsi, hasil olah pikiran, sebagai sebuah kebenaran yang mutlak dan baku…

Santri Gundhul : Lalu…bagaimana semestinya…?

Nelayan Tua : Mari kita bicara tentang sebuah samudera. Menurutmu, bagaimana caranya agar kita bisa tahu tentang samudera itu? Apakah kita sudah punya alat untuk mengetahuinya?

Santri Gundhul : Dengan mataku, aku bisa melihat permukaan samudera yang biru…kadang aku bisa melihat kapal berlayar di permukaan samudera itu…

Nelayan Tua : Baik…lalu apa yang ada di balik permukaan samudera itu? Ada apa di kedalamannya?

Santri Gundhul : aku bisa menduga-duga dengan pikiranku..mungkin di dalamnya banyak ikan…mungkin juga ada terumbu karang..atau barangkali ada kapal selam….

Nelayan Tua : Apakah pasti demikian yang ada di dalam samudera?

Santri Gundhul : Ya belum tentu…..

Nelayan Tua : Satu2nya cara untuk mengetahui apa yang sesungguhnya ada di dalam samudera itu kamu harus menyelam..kamu harus masuk ke kedalaman….

Santri Gundhul : Tentu saja…

Nelayan Tua : Lalu, bagaimana caranya agar kamu bisa tahu hakikat surga?

Santri Gundhul : Pertama, aku sekadar mempercayai apa yang dikatakan oleh orang yang menurutku pintar…Kedua, aku gunakan akalku untuk menduga-duga seperti apa surga itu…Tapi, jelas, aku memang tak akan tahu banyak tentang surga jika begitu…Yang paling mungkin membuat aku tahu kebenaran surga..ya aku harus masuk dulu ke situ..aku harus menyaksikannya langsung….

Nelayan Tua : Lalu apa yang menghalangimu untuk melakukannya?

Santri Gundhul : Bukankah itu tak perlu? Bukankah sudah ada kitab suci? Bukankah sudah ada ulama yang membimbing kita?

Nelayan Tua : Kalau kau tak lakukan, kau tak akan pernah tahu kebenaran sesungguhnya…kau hanya akan terus dalam praduga, prasangka….bahkan sejatinya, kau juga tak akan tahu apakah yang selama ini kau yakini, yang kau terima sebagai ajaran dari sekian banyak orang yang kau anggap pandai itu, benar atau salah….

Santri Gundhul : Kamu benar…..tapi mungkinkah?

Nelayan Tua : Di dalam dirimu…sesungguhnya ada pintu gerbang untuk mengetahui hakikat kebenaran yang selama ini tersembunyi?

Santri Gundhul : aku tak pernah mendengar hal itu…

Nelayan Tua : Ha..ha…ha….

Santri Gundhul : Mengapa tertawa..

Nelayan Tua : Kau naif sekali…Kau yakin sekali sebagai pemilik tunggal surga, tapi hal sepele begitupun kau tak tahu…

Santri Gundhul : Ajari aku….aku sadar bahwa aku memang naif..

Nelayan Tua : Untuk bisa menemukan gerbang itu..kau harus melakukan banyak hal: kau harus singkirkan kedengkian, amarah, keserakahan, dan berbagai keburukan lainnya dari dalam hatimu…

Lalu, kau sering-seringlah memasuki alam keheningan..buat pikiranmu diam sejenak..biarkan dirimu berhubungan dengan suara di dalam hatimu…Berikutnya…kau harus berbuat baik kepada semua yang ada di sekitarmu…termasuk kepada pepohonan, bebatuan, langit, penghuni langit, tetangga, leluhur, dan semuanya…

Santri Gundhul : Berat sekali….

Nelayan Tua : Ha, ha..begitu saja sudah berat kok yakin jadi pemilik surga….

Santri Gundhul : Dalam hati aku misuh misuh pada diriku sendiri…Diampuuuuuuttt…aku memang GEMBLUNG..!!.

Nelayan Tua : Ya sudah, berhubung sudah larut kita akhiri jagongan ini, istirahat dulu bukannya besok kau akan menyelam??? nanti kau akan tahu sendiri keindahan di dalam laut setelah kau menyelaminya sendiri bukan dari cerita2 yg dutuliskan orang lain dlm buku.

Santri Gundhul : Baik pak, terima kasih sudah bersedia menemani dan mengantarkan saya menyelam besok pagi.

Ilmu Alam

Ngalam
Kata NGALAM memiliki arti upaya manusia untuk mendekatkan diri dengan alam. Alam bisa menjadi sahabat manusia, tetapi alam pun bisa menjadi musuh bagi manusia. Dikatakan musuh apabila manusia merusak alam, dan sebagai timbal baliknya alam akan merusak kehidupan manusia itu sendiri. Namun bila manusia memelihara dan menyayangi alam, maka alam akan menjadi sahabat manusia tersebut.

Apa yang disebutkan di atas adalah tindakan yang akan terjadi jika manusia bersahabat atau memusuhi alam. Sementara kata NGALAM di sini adalah berkaitan dengan meditasi, semedi ataupun manekung. Dalam melakukan aktivitas meditasi, semedi ataupun manekung setiap pelaku senantiasa berhubungan dengan alam.

Jika meditasi, semedi ataupun manekung tersebut dilaksanakan di tempat terbuka, maka seseorang akan bisa merasakan setiap desiran angin yang bertiup sepoi-sepoi. Seolah-olah manusia tersebut berdialog dengan alam sebagai sesama makhluk GUSTI ALLAH.

Dengan NGALAM, seorang manusia memiliki insting ataupun naluri seperti halnya hewan. Hewan-hewan di hutan akan mengetahui sebuah gunung akan meletus. Nalurinya yang tajam akan mampu merasakan apa yang akan terjadi. Demikian pula dengan manusia yang mampu NGALAM. Tanda-tanda dari alam akan menunjukkan pada dirinya apa yang bakal terjadi. Pelaku spiritual yang sering NGALAM akan semakin dekat dengan GUSTI ALLAH.

Seperti diketahui, bagi pelaku spiritual, ada dua kitab yang bisa dipelajari. Kedua kitab tersebut adalah kitab garing (kering) dan kitab basah. Nah, kitab garing (kering) itu adalah kitab seperti Al Qur'an, Injil dll. Sementara kitab basah adalah alam semesta ini.

Seperti pernah disebutkan sebelumnya, bahwa hakekat hidup setiap manusia ada 2 yaitu:
1. Tansah manembah marang GUSTI ALLAH
2. Apik marang sak padha-padhaning ngaurip

Nah, di sini alam yang berisi tumbuhan dan hewan serta unsur-unsur lainnya juga makhluk (sak padha-padhaning ngaurip). Jika kita tidak bersahabat dengan alam, mampukah kita menghadapi amukan alam?

Jangan Salah Presepsi pada Kaweruh Kejawen

Banyak orang yang membayangkan bahwa dengan belajar Kawruh Kejawen, maka seseorang akan bisa apa-apa. Bisa kebal bacok, bisa terbang, bisa menyembuhkan orang sakit dan beraneka macam kemampuan lainnya. Dengan kata lain, belajar Kawruh Kejawen itu akan mampu memiliki kesaktian yang luar biasa. Padahal tidak demikian.

Orang belajar Kawruh Kejawen sama sekali tidak dimaksudkan untuk memperoleh kesaktian apapun. Setidaknya dengan belajar Kawruh Kejawen maka seseorang akan mampu memaknai hidup, tahu hakekat dan tujuan hidup. Yang utama adalah mengetahui kemana arah kita setelah kita mati, meski banyak orang mengatakan kita akan kembali kepada GUSTI ALLAH sesuai dengan ayat Innalillahi Wa Innaillaihi Rojiun. Namun untuk kembali kepada GUSTI ALLAH tidak semudah yang dikatakan.

Banyaknya pemahaman yang keliru tentang Kejawen tentang beraneka kesaktian yang bisa diperoleh, ternyata akan membuat seseorang akhirnya merasa kecewa. Apa sebabnya? Sebab Kejawen tidak hanya mengajarkan ilmu seperti itu. Memang ada yang mengajarkan ilmu itu, namun hal itu sebatas di permukaan saja. Justru orang yang sudah belajar Kejawen lebih mendalam tidak akan pernah menonjolkan ilmu-ilmu kesaktian seperti tersebut.

Tidak ada yang sakti di dunia ini. Bak peribahasa "Di atas langit, masih ada langit", artinya keliru jika seseorang menyatakan dirinya yang paling sakti di dunia ini. Kesaktian hakiki adalah milik GUSTI ALLAH semata.

Justru ketika seseorang sudah mulai dekat dengan GUSTI ALLAH, maka semua kesaktian yang dimilikinya akan rontok. Semua kebencian yang berhubungan dengan dunia akan berganti dengan kasih sayang. Seperti peribahasa,"jika engkau ingin dikasihi oleh yang di 'Atas' makas kasihilah semua yang ada di bumi." Dan Insya Allah semua doa akan dikabulkan GUSTI ALLAH. Seperti disebutkan dalam nukilan sebuah serat Jawi yang menyatakan,"Jinurung sak Kerso niro.(terkabulkan apa semua keinginanmu)"

Kejawen adalah ilmu rasa. Mengapa dikatakan demikian? Karena apa nikmatnya sebuah ibadah atau ritual apapun tanpa adanya rasa? Sebuah ibadah akan menjadi ibadah rutin jika rasa tidak diikutsertakan. Dengan menggunakan rasa, maka sebuah ibadah ataupun ritual akan menjadi lebih khusyuk. Kini pertanyaan yang muncul adalah, apa hebatnya sebuah ilmu kesaktian dibandingkan kekhusyukan dalam beribadah?

Mengetahui Sang halik/Ghaib

- "GUSTI ALLAH, Panjenengan panggenanipun dhateng pundi?
+ "AKU ono ning teleging ati"
- "GUSTI ALLAH. Kulo sampun nyusul Panjenengan dumugi dhateng teleging ati. Panjenengan
kok mboten wonten. Panjenengan dhateng pundi?
+ "Kowe ora bakal biso nggoleki AKU. AKU ono ning teleging urip. Kowe bisa ketemu kelawan
AKU yen wis titi mongsone"

Terjemahan:
- "GUSTI ALLAH, dimanakah ENGKAU?
+ "AKU ada di dasar hati (hati sanubari)"
- "GUSTI ALLAH. Saya sudah menyusul ENGKAU di dasar hati. ENGKAU kok tidak ada. Dimanakah
ENGKAU?
+ "Kamu tidak bakal bisa mencari AKU. AKU ada di dasar hidup. Kamu bisa ketemu AKU jika
sudah saatnya"

Gambaran dialog di atas menggambarkan betapa sulit dan berlikunya untuk bisa bertemu dengan Sang Hyang Urip atau GUSTI ALLAH. Kita tidak akan bisa bertemu, apalagi bersatu dengan GUSTI ALLAH jika belum saatnya. Namun, dari dialog itu kita bisa tahu bahwa ALLAH itu dekat. Seperti yang dijelaskan GUSTI ALLAH sendiri dalam Al'Quran "AKU tidak jauh dari urat lehermu sendiri."

Namun orang Jawa memiliki falsafah tersendiri agar tidak putus asa untuk bisa bertemu Sang Khalik. Falsafah tersebut berbunyi,"Sopo sing temen bakal tinemu." Yang artinya, "Siapa yang benar-benar mencari, bakal menemukannya". Falsafah tersebut sangat besar artinya bagi para pendaki spiritual. Setidaknya, kita pasti bisa bertemu dengan GUSTI ALLAH di alam kematian saat kita hidup di dunia ini.

Lho hidup di dunia ini kok disebut alam kematian? Karena orang hidup di dunia itu hakekatnya adalah mati, dan orang yang sudah mati itu hakekatnya hidup. Alasannya, kita hidup di dunia ini selalu diperalat oleh kulit, daging, perut, otak dan lain-lainnya. Oleh karena itu, saat kita hidup di dunia ini pasti membutuhkan makanan untuk kita makan. Sarana untuk bisa mendapatkan makanan adalah dengan bekerja mencari duit.

Nah, kita makan itu sebetulnya hanyalah untuk menunda kematian. Lantaran diperalat oleh indera, kulit, daging, perut, otak dan lainnya, maka kita ini disebut mati. Tetapi ketika seseorang itu mati, badan yang bersifat jasad ini ditinggalkan. Yang hidup hanyalah ruh. Ruh tidak pernah butuh makan, tidur, apalagi butuh duit. Ruh itu hanya butuh bertemu dengan si Pemilik Ruh.

Di bagian lain pada blog ini pernah dijelaskan perihal "belajarlah mati sebelum kematian itu datang". Artinya, ketika kita hidup di dunia ini hendaklah kita belajar mematikan hawa nafsu dan membersihkan segala hal yang bersifat mengotori hati. Tujuannya semata-mata hanya untuk bertemu dengan GUSTI ALLAH.

Mengapa kita mesti belajar mati? Belajar mati sangatlah penting. Agar nanti ketika kita mati tidak salah arah dan salah langkah. Lho...bukankah orang mati itu ibarat tidur menunggu pengadilan dari Hyang Maha Agung? Oh...tidak. Orang mati itu justru memulai kembali perjalanan menuju ke Hyang Maha Kuasa. Orang Jawa mengatakan dalam kata-kata bijaksananya,"Urip iku ibarat wong mampir ngombe (Hidup itu seperti orang yang mampir minum)". Kalau diibaratkan secara detil, orang hidup di dunia ini sebenarnya mirip seorang musafir yang berjalan, lalu kelelahan, istirahat dan minum di bawah pohon. Ketika rasa letih dan lelah itu sudah sirna, si musafir itupun harus kembali melanjutkan perjalanannya. Kemana? Tentu saja ke tempat tujuannya.

GUSTI ALLAH itu dekat, jika sang musafir senantiasa mengingat-ingat tentang GUSTI ALLAH. Tetapi sebaliknya, GUSTI ALLAH itu jauh ketika sang musafir tersebut lebih banyak berpikir tentang hal-hal lain yang bersifat duniawi selain GUSTI ALLAH.

Pertanyaannya, Bagaimana untuk bisa bertemu dengan ALLAH? Ibarat kita hendak bertemu sang kekasih hati, gambaran wajah sang kekasih hati sudah terlukis dalam benak kita meski lama tak bertemu dan di lokasi yang jauh. "Jauh di mata, dekat di hati". Oleh karena itu, pertama, GUSTI ALLAH harus selalu terlukis dalam benak kita. Artinya, kita harus senantiasa eling.

Kedua, GUSTI ALLAH itu bersifat Ghaib. "Mustahil bagi kita yang nyata ini bertemu dengan yang Ghaib," begitu kata orang rasional. Tapi pendapat itu tidak berlaku bagi para pendaki spiritual. Seseorang bisa bertemu dengan Sang GHAIB dengan menggunakan satu piranti khusus. Apakah itu? Piranti itu adalah mata batin. Sebab GUSTI ALLAH tidak bisa dipandang dengan mata telanjang.

Dari kedua cara tersebut, maka kita bisa mengambil kesimpulan bahwa kedua cara tersebut lebih mengandalkan pada piranti yang lebih halus lagi untuk bisa bertemu dengan GUSTI ALLAH yaitu dengan RASA. Jika RASA itu sudah terbiasa diasah, maka akan menjadi tajam seperti mata pedang. Cobalah untuk berlatih mengasah RASA dengan cara belajar mati., sumber dunia maya" kejawen"

Kesaktian Budi Luhur

KESAKTIAN BUDI LUHUR: Sebagai Pusaka Penghayat Kepercayaan Kejawen,
KESAKTIAN BUDI LUHUR: Sebagai Pusaka Penghayat Kepercayaan KejawenBerbagai fenomena tentang kesaktian budi luhur, reproduksi budi luhur, dan status penghayat dalam hidup bermasyarakat, tampak bahwa budi luhur merupakan gerakan resistensi halus terhadap sesengkaran dalam proses agamaisasi dan kekuasaan. Untuk menemukan identitas di tengah sesengkaran itu, penghayat berusaha melakukan reproduksi nilai-nilai kejawen sebagai sumber budi luhur dengan cara rekonstekstualisasi ke dalam paguyuban dan masyarakat. Berkaitan dengan itu ada tiga temuan berharga yang dapat dirangkum.

KESAKTIAN BUDI LUHUR: Sebagai Pusaka Penghayat Kepercayaan KejawenPertama, budi luhur menjadi sakti yang menggugah rasa eling, dapat menjawab kegelisahan hati dan lebih menentramkan batin dibanding mengikuti keyakinan lain. Kedua, budi luhur di kalangan penghayat sebagai carangan dari mainstream (babon) nilai-nilai kejawen, yang dianggap cocog, tidak menjadi beban hidup dan lebih mewadahi tekanan batin. Ketiga, budi luhur adalah pedoman bertindak sebagai strategi untuk menciptakan resistensi halus dengan cara drama sosial seperti penari topeng agar tercapai harmoni hidup bermasyarakat.

KESAKTIAN BUDI LUHUR: Sebagai Pusaka Penghayat Kepercayaan KejawenDemikian antara lain kesimpulan desertasi yang dipaparkan oleh Drs. Suwardi, M.Hum, dalam ujian terbuka untuk memperoleh Derajat Doktor dalam Bidang Ilmu-Ilmu Humaniora (Antropologi) yang disampaikan di hadapan Dewan Penguji Ujian Terbuka Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya UGM dan para tamu undangan lain yang bertempat di Gedung R.M. Margono Djojohadikusumo FIB UGM pada Kamis (17/3) lalu.

Lebih lanjut, Suwardi, Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa Jawa Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) UNY tersebut memaparkan, dari tiga temuan itu, dapat diabstraksikan menjadi sebuah tesis KESAKTIAN BUDI LUHUR: Sebagai Pusaka Penghayat Kepercayaan Kejawenbahwa budi luhur dan budi pekerti membutuhkan seni reproduksi (carangan) dan kreasi dalam hidup untuk menjawab ketidakpastian (kegelisahan) hidup. Tesis ini memuat empat hal bahwa dalam bidang antropologi interpretif-reflektif, yaitu: (1) budi luhur dan budi pekerti adalah sistem budaya untuk menghadapi kegelisahan (ketidakpastian) hidup, (2) budi luhur dan budi pekerti adalah sumber kawicaksanan Jawa, yang menyelamatkan proses pendumadian, (3) hidup beragama adalah proses membuat carangan terus-menerus dari ajaran babon, (4) hidup membutuhkan seni dan kreasi keberagaman.

KESAKTIAN BUDI LUHUR: Sebagai Pusaka Penghayat Kepercayaan KejawenDari tesis ini, ia menegaskan bahwa gagasan Clifford Geertz tentang agama sebagai sistem budaya, perlu ditambahkan. Bagi Suwardi, agama perlu seni dan kreasi budaya untuk memperoleh kesenangan, kepuasan, dan keindahan. Seni kreasi beragama adalah kawicaksanan Jawa untuk mengolah makna budaya yang dinamik, sebagai bekal ketika penghayat kelak menuju sangkan paraning dumadi, yaitu manunggaling kawula-Gusti.

Paparan desertasi Suwardi yang mengambil judul “Kesaktian Budi Luhur: sebagai Pusaka Penghayat Kepercayaan Kejawen” itu memakan waktu sekitar 1 jam, dipertahankan untuk KESAKTIAN BUDI LUHUR: Sebagai Pusaka Penghayat Kepercayaan Kejawenmenjawab pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan oleh para penguji, yakni Prof. Dr. Kodiran, M.A., Prof. Dr. Suhardi, M.A., Prof. Dr. P.M. Laksono, M.A., Prof. Dr. R.M. Soedarsono, dan Prof. Dr. Suminto A. Sayuti. Sementara Sidang Ujian Terbuka dipimpin oleh Dr. Ida Rochani Adi, S.U., selaku Penanggung Jawab sekaligus Dekan FIB UGM.

Salah satu pertanyaan Penguji yang sempat membuat tertawa para hadirin muncul dari Prof. Dr. Suminto A. Sayuti, yakni “Penghayat untuk menuju ajaran wicaksana disimbulkan dalam sesaji jenang abang putih. Tetapi dalam implementasinya, foto yang ditampilkan dalam buku yang dibagikan kepada tamu undangan justru berwarna hitam putih. Bukankah itu tidak wicaksana, karena bisa mengubah konsep?” Atas pertanyaan tersebut, Suwardi hanya tersenyum simpul.

KESAKTIAN BUDI LUHUR: Sebagai Pusaka Penghayat Kepercayaan KejawenSebelum menyampaikan nilai ujian, Prof. Dr. Kodiran, M.A., dalam sambutannya juga menyampaikan dan berpesan kepada Suwardi, ketika menulis karangan ilmiah harus menggunakan bahasa dan tulisan ilmiah. Selain itu, semoga dengan gelar Doktor ini, Suwardi bisa mengembangkan ilmu sesuai dengan ilmu yang ditekuni sehingga bisa bermanfaat bagi masyarakat. Setelah melalui rapat, akhirnya Dr. Suwardi dinyatakan lulus dan mendapat predikat “Sangat Memuaskan”. Dr. Suwardi, kelahiran Kulon Progo, 3 April 1964 ini, merupakan Doktor yang ke-1351 yang dihasilkan oleh UGM.

Di akhir acara, ucapan selamat atas kesuksesannya ini disampaikan oleh para rekan-rekan Suwardi yang hadir dalam acara Ujian Terbuka dengan berjabat tangan dan ramah-tamah.

Manusia Harus Percya Ghaib

Mau tidak mau, makhluk hidup harus mempercayai pada sesuatu yang ghaib. Apabila tidak mempercayai hal yang ghaib, berarti kita sudah tidak percaya pada GUSTI ALLAH. Lho kok bisa? Jelas bisa. Alasannya, bukankah GUSTI ALLAH itu ghaib? Antara manusia dan GUSTI ALLAH terdapat ribuan hijab yang menutupi sehingga kita tidak bisa melihatNYA secara langsung.

Bahkan kita tidak bisa merabaNYA karena GUSTI ALLAH itu sifatnya tidak wujud.Kalau wujud, berarti bukanlah GUSTI ALLAH.

Itulah yang harus kita jadikan sebagai pegangan agar kita tidak terperdaya dalam memahami dan menyembah pada yang bukan GUSTI ALLAH.

Nah, seperti dijelaskan GUSTI ALLAH lewat Al'Quran, ALLAH sendiri sangat dekat. GUSTI ALLAH dalam Al'Quran menjelaskan yang kurang lebih artinya, "Kalau engkau bertanya tentang AKU, AKU ini sangat dekat. Bahkan lebih dekat dari urat lehermu sendiri." Dari situlah kita bisa melihat bahwa GUSTI ALLAH itu dekat.

Pada tubuh seluruh manusia terdapat GUSTI ALLAH. Dimanakah posisiNYA? GUSTI ALLAH itu berada pada hati nurani yang paling dalam. Hati manusia dibagi menjadi 2 bagian yakni hati besar dan hati kecil. Perlu diketahui bahwa hati besar selalu berkata bohong, menghasut, iri, dengki dan lainnya. Sedangkan hati kecil selalu mengatakan hal-hal yang bersifat kebaikan, sabar, lembut dll.

Pada hati kecil itulah GUSTI ALLAH bersemayam. Namun kita tidak bisa memburu keberadaan GUSTI ALLAH dikarenakan adanya ribuan hijab yang menghalangi itu sendiri. GUSTI ALLAH akan menyatu dan menguasai tubuh kita, jika GUSTI ALLAH sendiri yang berkehendak.

Dalam pikiran manusia juga dibagi menjadi 2 yaitu pikiran materiil dan spirituil. Kalau pikiran materiil yang lebih menonjol, tentu manusia itu akan memburu hal-hal yang bersifat materiil seperti kekayaan, kemakmuran, pangkat, jabatan, lawan jenis dan lainnya. Namun kalau pikiran spirituil yang menonjol, maka seorang manusia boleh dikatakan hampir mirip dengan malaikat. Oleh karena itu, antara sisi materiil dan spirituil haruslah seimbang. Di satu sisi kita wajib bekerja untuk mencari materi, di sisi lain kita juga wajib untuk manembah dan memuji kebesaran GUSTI.

Untuk mendalami sisi spirituil, GUSTI ALLAH menciptakan piranti yang disebut dengan GURU SEJATI. Sebetulnya antara GUSTI ALLAH dan GURU SEJATI itu pada prinsipnya sama. Jika seseorang mulai memiliki keinginan dan kerinduan terhadap TUHAN, maka GURU SEJATI itulah yang akan memandu untuk lebih bisa mendekatkan diri pada GUSTI ALLAH.

Bahkan banyak orang yang berpendapat bahwa GURU SEJATI yang ada pada manusia itu adalah NUR MUHAMMAD. Pendapat itupun ada benarnya. Pasalnya, manusia yang hidup di dunia ini selalu memiliki NUR MUHAMMAD. NUR MUHAMMAD itulah yang menjadi penghubung antara seorang manusia dengan GUSTI ALLAH.

Nah, biasanya GURU SEJATI itu senantiasa mengajarkan lewat kata hati kita. Ia senantiasa menggerakkan rasa dan hati kita untuk selalu mendekat kepada GUSTI. Bahkan tidak jarang GURU SEJATI juga mengajarkan apa yang harus dilakukan dalam sebuah ritual. GURU SEJATI bersemayam dalam rasa.

Contohnya, pernahkah Anda merasa kesepian walaupun berada di tengah keramaian? Nah, kalau Anda sedang dalam posisi seperti itu, cobalah untuk mendengarkan hati kecil Anda dan mengikuti rasa yang muncul. Sebab kata hati kecil dan rasa itu adalah GURU SEJATI Anda sendiri. Setiap manusia memiliki GURU SEJATI. Tergantung manusia itu sendiri apakah GURU SEJATI tersebut lebih banyak didengarkan ataupun lebih memilih untuk mendengarkan hati besar yang dipenuhi oleh setan.

Untuk itu, kenalilah GURU SEJATI Anda. Dengan mengenali GURU SEJATI Anda, maka Anda akan bisa selalu 'bermesraan' dengan GUSTI ALLAH. Paling tidak, rasa yang akan muncul adalah kedamaian dan ketentraman yang ada dalam diri Anda, meskipun Anda tidak memiliki uang. Penasaran? Coba Anda praktekkan sendiri.