Dalam istilah agama Islam, ada sebuah sifat jiwa (diri) yang disebut dengan JIWA YANG TENANG (Nafsul Muthmainnah). CIRI-CIRI Nafsul Muthmainnah ini hanya sederhana saja, yaitu pada Nafs ini tiada lagi rasa kekhawatiran dan tiada kesedihan padanya (la khaufun 'alaihim wala hum yah zanun).
Siapa saja dapat merasakannya. Realitas suasana diri yang bersifat
universal ini kalau dibahasakan secara populer adalah, bahwa pada diri
itu, otaknya tidak lagi dihantam oleh gelombang badai fikirannya,
dadanya tidak lagi dihantam oleh galaunya perasaannya. Ya..., otak sang diri ini sudah tidak lagi terkotak-kotak dalam berbagai persepsi yang sangat beragam dari orang ke orang, dan dada sang diri itu juga sudah tidak bergolak lagi dengan berbagai amukan perasaan baik perasaan senang maupun perasaan susah.
Ada
diantara kita yang bisa sampai pada suasana otak dan dada yang tenang
ini saja sebenarnya sudah sangat bagus sekali. Karena banyak juga
diantara kita yang mengaku-ngaku sudah beragama, tapi fikiran dan dada
kita masih dipenuhi oleh badai fikiran dan amukan rasa sehingga kita
sibuk sendiri dengan apa-apa yang kita fikirkan dan rasakan itu.
Karena
suasana jiwa yang tenang itu adalah sebuah sunatullah, atau bisa juga
disebut sebagai hukum positif yang diturunkan oleh Sang Pencipta kepada
seluruh umat manusia, maka semua manusia juga akan bisa mendapatkannya.
Ya…, SEMUA manusia, tak tergantung pada agama dan suku bangsa, akan
mampu meraih suasana otak dan dada yang tenang itu. Karena manusia ini
diciptakan Tuhan memang beragam, maka cara untuk mendapatkan ketenangan
otak dan dada itu juga bisa bermacam-macam. Boleh dikatakan cara untuk
mendapatkan jiwa yang tenang itu akan sama banyaknya dengan jumlah
manusia itu sendiri. Tak terbatas.
Salah
satu cara yang dianggap orang dapat menciptakan sensasi rasa tenang itu
adalah dengan cara meyakini, bahkan sampai benar-benar mengalami, apa
yang dinamakan oleh pemraktek reiki, taichi, yoga, dan meditasi lainnya
itu dengan proses terbukanya CAKRA MAHKOTA, begitu juga CAKRA DADA.
Proses terbukanya cakra-cakra utama (mayor) ini ternyata memunculkan
fenomena-fenomena, dimana pemrakteknya seperti mampu merasakan dirinya
lepas dari sensasi ketubuhannya dan kemudian berubah menjadi sensasi
alam semesta. Terbukanya Cakra Mahkota, diyakini orang bisa menimbulkan
sensasi keluasan otak yang akan membuat otak itu menjadi tenang. Seperti
juga halnya sensasi keluasan dan kelapangan dada yang dipercaya orang
dapat muncul dengan telah bersihnya Cakra Dada.
Pasal
apakah dengan terbukanya Cakra Mahkota akan mempermudah orang untuk
nyambung ke Allah, seperti pertanyaan Pak Rizki, saya tidak dapat
menjawabnya. Karena tentang Allah ini setiap agama bahkan setiap orang
punya persepsi sendiri-sendiri. Tentang Allah ini, setiap orang
mempunyai hubungan yang sangat pribadi sekali dengan-Nya. Sangat pribadi
sekali. Hal ini akan saya kupas lebih pada uraian “Kulit Sang Aku
Diri”.
Akan
tetapi, Cakra Mahkota yang sudah terbuka boleh jadi memang dapat
mempercepat hilangnya badai fikiran di otak kita. Begitu juga dengan
terbukanya Cakra Dada yang akan mengurangi amukan berbagai perasaan.
Boleh jadi pula orang yang telah mendapatkan keluasan dan ketenangan
fikiran dan dada itu dapat lebih mudah untuk menjadi manusia universal.
Dari
sekian banyak metoda itu, lalu ada beberapa metoda yang menonjol. Ya…,
wajar saja !!!. Karena di atas awan memang masih ada awan. Beberapa
metoda yang menonjol itu lalu dipasarkan oleh pemrakteknya ke penjuru
dunia. Dengan berbagai nama. Setiap nama itu mempunyai ciri khasnya
sendiri-sendiri. Siapa tahu ada yang maunyobain juga. Nah…, metoda-metoda yang sudah kita bahas di atas tadi adalah beberapa contoh saja diantara metoda-metoda yang ada.
Bahkan
dalam agama Islam, selain praktek tarekat di atas, masih banyak
metoda-metoda lainnya yang bisa dipakai. Misalnya puasa, zakat, sedekah,
haji, yang tujuannya adalah untuk mengolah diri (tadzkiyatunnafs)
agar bisa menjadi tenang. Shalat pun ternyata tujuannya adalah untuk
membawa peshalat kepada suasana jiwa yang tenang itu, sehingga sang jiwa
itu bisa tercegah dari badai fikiran dan rasa, yang dalam istilah
agamanya disebut sebagai: “si peshalat bisa tercegah dari perbuatan yang
keji dan mungkar”.
Jadi
dalam semua praktek-praktek agama (agama apa saja) maupun praktek
pengolahan dan penyucian diri yang begitu beragamnya itu, pada tatanan
DIRI (NAFS) itu sendiri akan mempunyai dampak yang hampir sama. Semuanya
menawarkan cara-cara untuk mencapai ketenangan diri, yang realitasnya
adalah lepasnya sang diri dari jebakan badai fikiran di otaknya dan
amukan perasaan di dadanya. Ya…, semua masih berada di kulit nafsul muthmainnah saja
sebenarnya. Jadi barangkali wajar saja kalau ada yang orang memilih
agama tertentu (bahkan sampai ada yang mau bertukar agama) atau memilih
praktek pengolahan diri tertentu karena dia mampu merasakan MANFAAT dari
apa-apa yang dia praktekkan dalam agama atau pengolahan dirinya itu.
Tapi kemudian muncul lagi pertanyaan. Setelah diri itu tenang, lalu diri itu mau diapain…???. Dan buat apa agama ini sebenarnya…???.